ICJR Serukan Perhatian DPR Terhadap Enam Rancangan Undang-Undang Sektor Peradilan Pidana
Berita Baru, Jakarta – Pada Selasa, 1 Oktober 2024, sebanyak 580 anggota DPR RI terpilih dilantik untuk periode pemerintahan 2024-2029. Menyikapi pelantikan ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyerukan pentingnya perhatian terhadap sektor peradilan pidana, khususnya dalam enam rancangan undang-undang (RUU) krusial yang harus menjadi prioritas anggota DPR.
ICJR menekankan tiga fungsi utama anggota DPR, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menghadirkan pemerintahan berbasis bukti, efisien, tidak koruptif, serta diawasi secara komprehensif. “Anggota DPR yang baru dilantik harus segera mempelajari dan membahas sejumlah RUU yang sangat penting untuk peradilan pidana kita. Ini bukan hanya soal legislasi, tapi juga upaya menciptakan peradilan yang adil dan manusiawi,” ujar ICJR dalam siaran persnya yang terbit pada Selasa (1/10/2024).
ICJR mencatat bahwa ada delapan isu utama dalam peradilan pidana yang harus menjadi perhatian anggota DPR, termasuk transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan, kebebasan berekspresi, overkriminalisasi, serta perlindungan korban dan kelompok rentan. Dari delapan isu tersebut, ICJR menyerukan pentingnya pembahasan terhadap enam RUU, yang meliputi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Revisi UU Advokat, Revisi UU KPK, RUU Perampasan Aset, RUU Narkotika, dan RUU Bantuan Korban.
Salah satu RUU yang paling mendesak adalah RKUHAP. ICJR menilai bahwa sistem peradilan pidana di bawah KUHAP saat ini minim pengawasan dan tidak memberikan peran yang memadai bagi hakim untuk mengawasi tindakan aparat penegak hukum. “Pengawasan dalam sistem peradilan pidana harus diperkuat, termasuk dengan mengesahkan revisi KUHAP dan memperkenalkan hakim komisaris untuk memastikan tindakan aparat tidak menyimpang,” tegas ICJR.
Terkait kebijakan narkotika, ICJR juga menyerukan pentingnya revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dinilai menjadi penyebab utama overcrowding di rutan dan lapas. Revisi UU Narkotika harus mengedepankan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika, bukan hanya pendekatan hukum. “DPR harus melanjutkan komitmen periode sebelumnya untuk mendukung dekriminalisasi pengguna narkotika dan mengedepankan rehabilitasi kesehatan,” ujar ICJR.
Selain itu, ICJR juga menekankan pentingnya pengaturan berbasis gender dalam peradilan pidana, misalnya dengan menghindari penahanan bagi perempuan hamil dan memperkenalkan mekanisme bantuan bagi korban tindak pidana. “Revisi KUHAP harus memastikan perlindungan hak-hak perempuan dan korban kekerasan, termasuk pengaturan mekanisme dana bantuan korban,” tambah ICJR.