Hantu Orba Masih Eksis Saat Bertemu Buku Merah
Hantu Orba Masih Eksis Saat Bertemu Buku Merah
Wahyu Eka Setyawan
(Alumni Psikologi Universitas Airlangga dan Manager Pendidikan Walhi Jatim)
Opini, – Geger, itulah yang kini sedang terjadi, pasca tragedi pegiat literasi di Probolinggo yang dirampas bukunya oleh pihak keamanan. Buku tak berdosa itu, bisa jadi telah dicap berdosa karena berwarna merah dan terpampang manusia yang dilaknat oleh negara bernama Aidit. Tapi, ada satu buku bertuliskan nama Sukarno yang tak lain merupakan ayah biologis Megawati, serta tokoh yang diagung-agungkan oleh PDIP hingga Jokowi, juga turut serta diambil. Hanya karena ada kata marxisma yang usut punya usut, digosipkan berbahaya bagi kehidupan bangsa. Saking bahayanya buku itu semacam jimat santet, atau barangkali barang pesugihan yang bisa memiskinkan bangsa yang sudah terlanjur miskin ini.
Bentuk-bentuk pemberedelan bermacam-macam, mula-mula melalui dalih ancaman pada keamanan negara dan potensi-potensi subversif. Buku itu bagaikan api yang saat tersulut bersama pertamax akan langsung terbakar, dan melahap semua yang ada didekatnya. Tapi itu buku, ia tak punya salah. Jalan pun ia tidak bisa, hanya bisa ditenteng oleh pemiliknya, kalau tidak terpajang di media sosial. Kan, yang ditakutkan adalah isinya, bukan bukunya. Maka isi buku itu adalah pengetahuan yang penting, sebuah gambaran mengenai pemikiran yang ada di dunia.
Kemerdekaan Indonesia juga berawal dari buku dan pengetahuan, tanpa itu semua mustahil mereka bisa petentang-petenteng sok nasionalis. Belanda pun pernah berlaku demikian, memberangus apapun yang bermuatan kemerdekaan dan wacana nasionalisme. Baik buku, koran hingga pamflet oleh kolonial diberangus dan diberedel. Semua itu dilakukan karena ketakutan, kalau paham dan tahu, potensi subversif terhadap kolonial akan semakin masif.
Di tengah tren keterbukaan dan masifnya ilmu pengetahuan yang semakin diagung-agungkan, lalu berkaitan dengan sambatnya pemerintah akan menurunnya minat baca, dengan pemberangusan semacam ini akan semakin menegaskan bahwa, pada konteks literasi kita memang jauh dan jauh terbelakang.
Kondisi seperti ini sama ketika Suharto berkuasa, semua yang berbau merah apalagi ada kata marxisma akan langsung diberangus. Tidak hanya itu saja, karya Pram hingg Pram sendiri diberangus. Tak peduli apa itu, bagaimana isinya, selagi berbau merah akan dihajar habis-habisan. Karena berpotensi menganggu stabilitas kekuasaan yang diambil dengan jalan coup, dan menghilangkan kelompok merah baik nasionalis pro Sukarno hingga Kuminis itu sendiri.
Narasi-narasi tanding pun direproduksi. Akarnya dikuatkan, tanpa banyak debat sang penguasa lalu membuat Tap MPRS, yang menjadi dasar untuk menghancurkan anasir kuminis dan Sukarno yang sosialisma itu. Hingga pada titik tertentu, sang penguasa paranoid itu lalu membuat buku putih ala sejarah militer yang digawangi Tuan Nugroho Notosutanto, hingga membelotkan narasi-narasi yang berkaitan dengan Sukarno atau kuminis.
Bahkan, UUPA tahun 60 pernah diberangus gegara dituduh warisan kuminis. Tak hanya itu saja, mereka pun memunculkan isu bahwa kuminis adalah atheis. Itu narasi dibangun dengan penuh kebencian, tanpa riset mendalam tapi diframing senyata mungkin. Melaui legitimasi musuh politik Sukarno dan kuminis, khususnya kelompok relijius kanan atau islam kanan pro status quo.
Saking delusinya, mereka melihat apapun yang dirasa berbau kuminis, pasti akan langsung terendus dan wajib dibubarkan. Tapi anehnya, mereka dalam urusan bisnis pun masih berhubungan dengan negeri kuminis. Delusi itu semakin parah, ketika mereka menemui sesuatu yang digambarkan ada muatan subversif. Misal kawan saya pernah mempunyai kaos bertuliskan PKI, walau itu akronim dari Pecinta Kopi Indonesia. Tapi karena ada kata PKI, alasan logispun tak dipakai, kawanku yang naas itu tetep diciduk dan disekolahkan.
Selanjutnya, ketakutan itu beralih ke buku. Semua buku jikalau ada kata Marx, marxisma, sosialisma apalagi berwarna merah, pasti akan diangkut. Walaupun itu ada tulisan Marx dan Muhammad, atau Islam dan sosialisma pasti semua akan diberedel dan ditahan, baik buku maupun yang membawanya. Sebentar lagi mungkin buku berjudul Katastrofi mendunia, marxisma, leninisma, stalinisma, maoisma dan narkotika, juga akan menunggu giliran diangkut. Walau buku itu karya begawan anti kuminis yang mulia baginda Taufik Ismail.
Narasi-narasi ini akan terus eksis, bagai sebuah dogma atau program yang telah diinstal ke gawai bernama otak, dan terus menerus akan terulang. Karena memang kerjanya begitu, dilandasi kebencian dan ketakutan akan bangkitnya musuh mereka. Walau mereka sudah hilang dimakan zaman, hantunya pun tak karuan di mana, akan selalu dicari dan dimusnahkan. Akarnya masih sama yakni sebuah kegagalan mengakui kecacatan sejarah dan terus menggelinding mengikuti si pembuat sejarah yang paranoia akut.
Tak cukup membuat buku, film dan narasi hoax yang disebarkan masif melalui institusi pendidikan dan kawan-kawannya. Itupun tak cukup, bahkan sampai buku-buku atau catatan pengetahuan mereka bredel. Walau zaman telah berubah, dan mereka sudah tak eksis lagi. Jangan-jangan ketakutan terus direproduksi memang karena ada motif relasi kuasa. Di mana ada yang takut kekuasaannya tergerus dan basis kekayaannya berkurang, lalu tak bisa berleha-leha petentang-petenteng layaknya kumpeni.
Rakyat sudah dewasa dan memiliki prioritas dalam menjalankan apa kehidupannya. Tak usah takut pancasila tergerus, wong kalau sakti sampai kapanpun akan tetap di hati. Kecuali pancasila itu telah diformat menjadi otoriter dan anti kebebasan dalam berpengetahuan. Layaknya muatan cerita dalam novel ciamik berjudul 1984 karya Orwell, yang bertutur tentang dominasi kuasa suatu elite. Dalam cerita itu pimpinan tertinggi bernama Big Brother memiliki kecemasan akut, tentang ketakutan kehilangan kekuasaannya. Bahkan saking ketakutannya si Big Brother ini mengawasi setiap insan di negerinya, membuat pengetahuan yang sesuai dengan keinginannya, mengontrol semua pemikiran dan tingkah laku setiap insan agar tetap berkuasa.
Selayaknya Binatangisme karya Orwell yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi, yang menceritakan kisah alegori terkait suatu realitas otoriterisme di sebuah wilayah. Kisah itu dimulai pada suatu ketika, saat para binatang berhasil merdeka dari perternakan Manor. Mereka bersepakat membuat tujuh asas bersama yang penuh nilai kolektif. Namun, hasrat berkuasa menjadikan Napoleon menyingkirkan Snowball dan mengubah semua aturan yang disepakati. Napoleon pun semakin otoriter dengan aturannya. Semua itu didesain oleh Napoleon agar kelak ia tetap berkuasa dengan otoriterismenya.
Logika yang ada, kalau pegiat literasi di Probolinggo dirampas bukunya (buku merah) dan kini diamankan oleh MUI. Bahkan sebelumnya di Kediri, Padang dan kota-kota lainnya, menunjukan pola yang sama. Bahwa pengetahuan itu berbahaya bagi kekuasaan yang eksis. Apalagi semua itu didapatkan dari hasil menjarah kekuasaan. Meski sudah diruwat melalui reformasi, tampaknya arwah orde baru masih eksis. Menjelma menjadi pemberangus buku, pengekang kebebasan membaca, dan tentu saja menjadikan literasi Indonesia semakin dekaden.
Surabaya, 2019.