Greta Thunberg Dinobatkan Sebagai ‘Person of The Year’ oleh TIME
Berita Baru, Internasional – Greta Thunberg duduk diam di kabin kapal yang akan membawanya melintasi Samudra Atlantik. Di dalam kapal, ada tengkorak sapi yang tergantung di dinding, globe yang sudah pudar dan jas hujan anak-anak berwarna kuning.
Di luar itu adalah prahara: hujan menerpa kapal, es melapisi geladak, dan lautan menerjang kapal yang membawa gadis kecil ini, ayahnya dan beberapa teman dari Virginia ke Portugal.
Di sini, dia berbicara pelan. Namun di luar sana, seluruh dunia akan menguatkan suara kecilnya dan berteriak bersamanya.
“Kita tidak bisa terus hidup seolah-olah tidak ada hari esok, karena hari esok adalah nyata,” katanya, sambil menarik-narik lengan baju kaus birunya. “Hanya itu yang kami katakan.”
Perahu layar, La Vagabonde, akan menggiring Thunberg ke Pelabuhan Lisbon. Dari sana ia akan melakukan perjalanan ke Madrid, tuan rumah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konferensi iklim tahun ini.
Waktu itu adalah puncak pertemuan terakhir sebelum negara-negara berkomitmen pada rencana baru untuk memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan oleh perjanjian Paris.
Kecuali mereka sepakat pada tindakan transformatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan kenaikan suhu dunia sejak Revolusi Industri.
Suatu keadaan dimana para ilmuwan telah memperingatkan bahwa sekitar 350 juta orang akan mengalami kekeringan dan sebanyak 120 juta orang akan berada dalam keadaan ekstrem kemiskinan pada tahun 2030.
Selama beberapa dekade, para peneliti dan aktivis telah berjuang agar para pemimpin dunia menanggapi ancaman iklim dengan serius. Tapi tahun ini, seorang remaja tak disangka-sangka telah menjadi perhatian dunia.
Greta Thunberg memulai gerakan global dengan bolos sekolah. Sejak Agustus 2018, ia menghabiskan hari-harinya dengan berkemah di depan kator parlemen Swedia, memegang papan nama yang dicat warna hitam dengan latar belakang putih yang bertuliskan “School Strike for Climate.”
Dalam 16 bulan sejak itu, ia telah banyak bertemu dan berbicara dengan para kepala negara di PBB, bertemu dengan Paus, berdebat dengan presiden Amerika Serikat dan mengilhami 4 juta orang untuk bergabung dengan pemogokan iklim global pada 20 September 2019.
Merupakan demonstrasi iklim terbesar dalam sejarah. Wajahnya bahkan diabadikan dalam berbagai hal termasuk mural dan kostum Halloween.
Politik aksi iklim begitu mengakar dan kompleks, dan Greta Thunberg tidak memiliki solusi ajaib. Tapi dia telah berhasil menciptakan perubahan sikap secara global, mengubah jutaan kecemasan.
Dia telah menawarkan panggilan moral clarion kepada mereka yang bersedia untuk bertindak, dan melemparkan rasa malu. Dia telah membujuk para pemimpin, dari walikota hingga presiden, untuk membuat komitmen.
Hasilnya, setelah dia berbicara dengan parlemen dan berdemonstrasi dengan kelompok lingkungan Inggris, Extinction Rebellion, Inggris mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan negara agar menghilangkan jejak karbonnya.
Dia telah berhasil memusatkan perhatian dunia pada ketidakadilan lingkungan yang ia protes selama bertahun-tahun.
Karena dia, ratusan ribu remaja ‘Gretas,’ dari Libanon ke Liberia juga melakukan aksi bolos sekolah untuk memimpin rekan-rekan mereka dalam aksi iklim di seluruh dunia.
“Momen ini memang terasa berbeda,” kata mantan Wakil Presiden Al Gore, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian untuk pekerjaan advokasi iklim selama beberapa dekade, kepada TIME.
“Sepanjang sejarah, banyak gerakan besar berbasis moral telah mendapatkan daya tarik pada saat ketika orang-orang muda memutuskan untuk menjadikan gerakan itu tujuan mereka,” lanjutnya.
Greta Thunberg, remaja berusia 16 tahun yang berpenampilan layaknya gadis 12 tahun, dengan rambut cokelat yang di kepang belah dua telah berhasil menggetarkan dunia dengan konsistensi aksinya.
Dia mengidap sindrom Asperger, yang berarti dia tidak beroperasi pada register emosi layaknya kebanyakan orang. Dia tidak suka keramaian, mengabaikan obrolan ringan, dan tidak menyukai gaya bicara yang rumit.
Dia tidak pernah merasa tersanjung, bahkan dia juga tampaknya tidak tertarik dengan ketenarannya saat ini. Tetapi kualitas-kualitas inilah yang menjadikannya sebagai sorotan dan sensasi global.
Greta Thunberg berbicara satu hal yang tidak bisa disangkal: Lautan akan naik. Kota-kota akan banjir. Jutaan orang akan menderita.
“Saya ingin anda panik, aku ingin kamu merasakan ketakutan yang kurasakan setiap hari. Dan kemudian saya ingin anda bertindak.” Katanya pada konvensi tahunan para CEO dan pemimpin dunia di forum ekonomi dunia di Davos, Swiss, pada bulan Januari.
Greta Thunberg bukan pemimpin partai politik atau kelompok advokasi. Dia bukan yang pertama membunyikan alarm tentang krisis iklim atau orang yang muncul sebagai sosok hebat yang akan memberi solusi untuk kerusakan.
Dia bukan ilmuwan atau politisi. Dia bukan seorang miliarder atau seorang putri, bintang pop atau bahkan orang dewasa.
Dia adalah gadis remaja biasa yang memanggil keberanian dalam dirinya dan semua orang untuk berbicara kebenaran kepada para penguasa. Dia berbicara dengan kemarahan yang menjadi suara paling parau untuk menyampaikan masalah paling penting yang dihadapi planet ini.
Pemogokan iklim global yang dilakukan Greta Thunberg adalah gerakan terbesar dan paling fenomenal diantara semua gerakan pemuda.
Meskipun ada banyak gerakan pemuda lainnya seperti, remaja di AS yang mengorganisir diri melawan kekerasan senjata dan berbondong-bondong ke kandidat progresif, mahasiswa di Hong Kong yang berjuang untuk demokrasi negaranya, dan pemuda dari Amerika Selatan ke Eropa yang gelisah dan ingin memperbaharui ekonomi global.
Thunberg tidak selaras dengan protes-protes ini, tetapi kehadirannya muncul untuk mewakili kemarahan pemuda di seluruh dunia.
Menurut survei Amnesty International Desember, kaum muda di 22 negara mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah paling penting yang dihadapi dunia.
Dan Thunberg mengingatkan bahwa orang-orang baik tidak akan hidup selamanya, dan bahwa pemuda yang saat ini merasakan pemerintahan yang bobrok, ekonomi yang hancur dan planet yang semakin rusak akan tahu dengan sendirinya betapa banyak orang dewasa telah mengecewakan masa depan mereka.
“Dia melambangkan penderitaan, frustrasi, putus asa, kemarahan dari banyak orang muda yang bahkan tidak akan cukup umur untuk memilih pada saat masa depan mereka hancur,” kata Varshini Prakash, 26, yang ikut mendirikan Gerakan Sunrise, sebuah kelompok advokasi pemuda AS yang mendorong Green New Deal.
Momen Thunberg datang tepat ketika realitas ilmiah yang mendesak bertabrakan dengan ketidakpastian politik global.
Setiap tahun manusia membuang lebih banyak karbon ke atmosfer, planet ini tumbuh semakin dekat ke titik yang tidak dapat kembali lagi, di mana kehidupan di bumi seperti tak dapat diubah.
Secara ilmiah, planet ini tidak mampu menanggungnya lagi; secara politis, ini merupakan kesempatan terbaik kita untuk melakukan perubahan besar sebelum terlambat.
Pemerintah Uni Eropa sedang merencanakan untuk mengenakan pajak impor dari negara-negara yang tidak bertanggungjawab atas perubahan iklim.
Sektor energi global sedang menghadapi perhitungan keuangan, China akan menyusun rencana pengembangannya untuk lima tahun ke depan, dan pemilihan presiden AS akan menentukan apakah pemimpin dunia akan terus bebas mengabaikan fakta perubahan iklim.
“Ketika anda seorang pemimpin dan setiap minggu anda dihadapkan dengan para pemuda yang berdemonstrasi dengan pesan seperti itu, anda tidak dapat tetap netral,” kata Presiden Prancis Emmanuel Macron kepada TIME. “Mereka membantu saya berubah.”
Para pemimpin dunia merespons tekanan, tekanan diciptakan oleh gerakan, gerakan dibangun oleh ribuan orang yang mengubah pikiran mereka. Dan terkadang, cara terbaik untuk mengubah pikiran adalah dengan melihat dunia melalui mata seorang anak.
Thunberg melihat dunia layaknya seorang penatua, tapi sayangnya dia masih anak-anak. Dia menyukai celana olahraga dan sepatu olahraga Velcro, dan berbagi gelang yang seragam dengan saudara perempuannya yang berusia 14 tahun. Dia suka kuda, dan dia sering merindukan kedua anjingnya, Moses dan Roxy, di Stockholm.
Ibunya Malena Ernman adalah penyanyi opera Swedia terkemuka. Ayahnya Svante Thunberg memiliki hubungan jauh dengan Svante Arrhenius, seorang ahli kimia pemenang Hadiah Nobel yang mempelajari bagaimana karbon dioksida di atmosfer meningkatkan suhu di permukaan bumi.
Lebih dari seabad setelah sains dikenal, guru sekolah dasar Thunberg menunjukkan sebuah video tentang beruang kutub yang kelaparan, cuaca ekstrem, dan banjir. Guru Thunberg menjelaskan bahwa itu semua terjadi karena perubahan iklim.
Setelah itu seluruh kelas terasa suram, tetapi anak-anak lain dapat melanjutkannya dengan tetap baik-baik saja. Berbeda dengan Thunberg. Dia mulai merasa sangat kesepian.
Saat berusia 11 tahun dia mengalami depresi berat. Selama berbulan-bulan, dia tidak mau berbicara hampir kepada semua orang dan makan sangat sedikit. Orang tuanya memutuskan mengambil cuti untuk merawatnya.
“Saya tidak bisa mengerti bagaimana itu bisa ada, ancaman eksistensial itu, dan kta tidak pernah memprioritaskannya,” katanya.
Pada awalnya, ayah Thunberg meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi ketika Thunberg mulai membaca lebih banyak tentang krisis iklim, dia menemukan pola pikirnya sendiri.
“Saya menyadari bahwa dia benar dan saya salah, dan saya telah salah sepanjang hidup saya,” kata Svante kepada TIME.
Dalam upaya untuk menghibur putri mereka, keluarga itu mulai mengubah kebiasaan mereka untuk mengurangi emisi mereka. Mereka kebanyakan berhenti makan daging, memasang panel surya, mulai menanam sayuran mereka sendiri dan memutuskan untuk berpergian tanpa pesawat.
“Kami melakukan semua hal ini, pada dasarnya, tidak benar-benar menyelamatkan iklim, pada awalnya kami tidak terlalu peduli tentang itu. Kami melakukannya untuk membuatnya bahagia dan membuatnya hidup kembali.” kata Svante. Perlahan, Thunberg mulai mau makan dan berbicara lagi.
Diagnosis Thunberg Asperger membantu menjelaskan mengapa dia memiliki reaksi yang sangat kuat untuk belajar tentang krisis iklim. Karena dia tidak memproses informasi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan orang-orang neurotipikal, dia tidak dapat memilah-milah fakta bahwa planetnya dalam bahaya.
“Saya melihat dunia hitam-putih, dan saya tidak suka berkompromi,” katanya kepada TIME saat istirahat sekolah awal tahun ini.
“Jika saya seperti orang lain, saya akan melanjutkan dan tidak melihat krisis ini.” Dalam beberapa hal, dia bersyukur atas diagnosisnya. Jika otaknya bekerja secara berbeda, dia menjelaskan, “Saya tidak akan bisa duduk berjam-jam dan membaca hal-hal yang saya minati.”
Fokus dan cara berbicara Thunberg menunjukkan kedewasaan yang jauh melampaui usianya. Ketika dia melewati teman-teman sekelasnya di sekolahnya, dia berkomentar bahwa “anak-anak sangat berisik,” seolah-olah dia bukan salah satu dari mereka.
Pada Mei 2018, setelah Thunberg menulis esai tentang perubahan iklim yang diterbitkan di surat kabar Swedia, beberapa aktivis iklim Skandinavia menghubunginya. Thunberg menyarankan agar mereka meniru para siswa dari sekolah menengah Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, yang baru-baru ini mengorganisir pemogokan sekolah untuk memprotes kekerasan senjata di AS.
Para aktivis lain memutuskan menentang gagasan itu, tetapi hal itu mengendap di benak Thunberg. Dia memberitahu orang tuanya bahwa dia akan melakukan mogok sekolah untuk menekan pemerintah Swedia agar memenuhi tujuan perjanjian Paris.
Orang tua Thunberg pada awalnya tidak menyepakati gagasan putri mereka yang harus kehilangan begitu banyak kelas. Begitu juga dengan guru-gurunya yang menyarankan dia melakukan cara lain untuk protes. Tapi Thunberg tidak bisa dikendalikan.
Dia mengumpulkan selebaran dengan fakta-fakta tentang tingkat kepunahan dan anggaran karbon, dan kemudian menyebarkan dengan kemasan humornya yang nakal sehingga membuatnya menjadi viral.
“Nama saya Greta, saya di kelas sembilan, dan saya sekolah untuk iklim,” tulisnya di setiap selebaran. “Karena kalian orang dewasa tidak peduli tentang masa depanku, aku juga tidak.”
Pada 20 Agustus 2018, Greta Thunberg tiba di depan Parlemen Swedia, mengenakan hoodie biru dan membawa plang tanda pemogokan sekolah buatannya. Dia tidak memiliki dukungan kelembagaan, tidak ada dukungan formal dan tidak ada yang bisa menemaninya. Tetapi merasa lebih baik daripada tidak melakukan apa pun.
“Mempelajari tentang perubahan iklim memicu depresi saya sejak awal,” katanya. “Tapi itu juga yang membuat saya keluar dari depresi, karena ada beberapa hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki situasi. Saya tidak punya waktu untuk depresi lagi,” Ayahnya mengatakan bahwa setelah dia mulai gerakan iklimnya, seolah-olah dia hidup kembali.
Pada awal September, cukup banyak orang yang bergabung dengan pemogokan iklim Thunberg–di Stockholm akan terus berlanjut setiap Jumat sampai Swedia memenuhi perjanjian Paris.
Pada akhir 2018, puluhan ribu siswa di seluruh Eropa mulai bolos sekolah pada hari Jumat untuk memprotes kebobrokan pemimpin mereka. Pada bulan Januari, 35.000 siswa melakukan aksi serupa yang dilakukan oleh Thunberg.
Pada September 2019, serangan iklim telah menyebar ke luar Eropa utara. Di New York City, 250.000 dilaporkan berbaris di Battery Park dan di luar City Hall. Di London, 100.000 memenuhi jalan-jalan dekat Westminster Abbey, dalam bayangan Big Ben.
Di Jerman, total 1,4 juta orang turun ke jalan, dengan ribuan membanjiri gerbang Brandenburg di Berlin dan berbaris di hampir 600 kota-kota lain di seluruh negeri. Dari Antartika ke Papua Nugini, dari Kabul ke Johannesburg, diperkirakan 4 juta orang dari segala usia muncul untuk melakukan protes.
Kejernihan moralnya menginspirasi orang-orang muda lainnya di seluruh dunia. “Saya ingin menjadi seperti dia,” kata Rita Amorim, seorang siswa berusia 16 tahun dari Lisbon yang menunggu selama empat jam pada bulan Desember untuk melihat Thunberg.
Itu semua terjadi begitu cepat. Lebih dari setahun yang lalu, seorang remaja yang pendiam mengenakan hoodie birunya, dan duduk sendirian selama berjam-jam dalam sebuah proes pembangkangan tunggal.
Empat belas bulan kemudian, dia telah menjadi suara jutaan orang, simbol pemberontakan global yang meningkat.
Pada 3 Desember, La Vagabonde merapat di bawah jalur penerbangan ke bandara terbesar Portugal. Thunberg dan ayahnya berdiri di geladak, melambai kepada ratusan orang yang berkumpul untuk menyambut mereka kembali ke Eropa.
Di atas kepala mereka, pesawat berkeliaran, mengingatkan betapa mudahnya Thunberg bisa menyeberangi lautan melalui udara, dan tentang biaya kenyamanan itu: sekitar 124.000 penerbangan yang lepas landas setiap hari menumpahkan jutaan ton gas rumah kaca ke atmosfer.
“Saya tidak bepergian seperti ini karena saya ingin semua orang melakukannya,” kata Thunberg kepada wartawan. “Saya melakukan ini untuk mengirim pesan bahwa tidak mungkin untuk hidup berkelanjutan hari ini, dan itu perlu diubah.”
Sumber : Time