Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Ilustrasi: Peakpx

Edson Arantes do Nascimento | Opini : Ahmad Erani Yustika



Opini : Ahmad Erani Yustika

(Kepala Sekretariat Wakil Presiden RI)

Anak-anak Kampung Bauru – Brasil itu memainkan bola dengan riang, umurnya sekitar 9-10 tahun. Tanpa sepatu dan bertelanjang dada, sebagian hanya berkaos kumal. Bukan cuma kaki, tapi kepala, dada, dan pundak turut menarikan bola dengan lincah. Bola disepak ke atas dan turun di genting rumah, meluncur ke bawah digiring lagi, masuk ke keranjang sampah, dan dipungut dengan jepitan dua kaki agar jatuh ke tanah kembali. Mereka mengolah bola layaknya latihan Capoeira. Bola menerobos jemuran baju, menyingkap korden lusuh, mengacak kacang hasil panen di lantai, dan menjatuhkan buah mangga yang menggantung di pohon. Permainan tak kenal henti: tanpa garis, tanpa batas. Itulah “Ginga” Brazil.

Permainan anak-anak itu terhenti karena sore itu hendak dimulai pertandingan final: Brasil vs Uruguay (Piala Dunia 1950). Orang sekampung berkumpul dan mendengarkan siaran langsung lewat radio. Pertandingan seru dan berakhir dengan hujan air mata. Brasil takluk. Luluh lantak di Stadion Maracana saat Brasil jadi tuan rumah. Joao Ramos do Nascimento, yang biasa dipanggil Dondinho, keluar paling akhir dari ruangan dengan linang air mata. Langkahnya gontai. Edson Arantes do Nascimento, yang sedari tadi mengintip pertandingan dari genting rumah, turun dan menghampiri Dondinho, ayahnya. “Brasil kalah, Nak,” ujar Dondinho. “Iya, aku tahu. Aku janji akan memenangkan Piala Dunia untuk Brasil,” ujar Edson dengan cucur air mata pula. Edson itu tidak lain ialah Pele!

Dondinho tahu, anaknya mengatakan itu dengan keyakinan. Sorot matanya tajam, meski kuyub dengan air mata. Sejak itu dia latih Pele dengan segenap keteguhan. Bakat Pele segera mencuat, dari permainan tingkat kampung sampai pertandingan di Distrik. Ayahnya sendiri bukan pelatih sembarangan karena ia pemain besar. Dia latih anaknya seperti ia sedang berlatih untuk dirinya sendiri. Cita-cita yang mengendap di kepala ia muntahkan ke anaknya. Dia pernah mencetak lima gol dalam satu pertandingan: semuanya dengan kepala. Memproduksi 893 gol dari total 773 pertandingan yang diikuti. Rata-rata lebih dari satu gol tiap permainan.

Pelatih Santos FC terpikat oleh gocekan bola Pele. Dia jemput Pele di kampungnya dengan mobil mentereng: Holden tanpa atap. Orangtuanya pedih ditinggalkan anaknya, namun juga bersuka karena harapan sedang diperjuangkan. Tidak banyak yang tahu, Pele kecil sempat putus asa di klub legendaris Brasil tersebut, di balik prestasinya yang menonjol. Ia pernah membawa kopernya dan sudah tiba di stasiun kereta api untuk kembali ke kampungnya. Pelatihnya menyusul, tapi tidak untuk mengemis. Ia cuma bergumam: “Terlalu banyak orang berbakat di dunia ini yang menjadi pecundang gegara tak sudi berjuang.” Saat kereta tiba, Pele memilih mengabaikan dan kembali berlatih di klub Santos untuk memperjuangkan keyakinannya.

Dondinho tahu waktu yang dijanjikan anaknya telah tiba. Masih dari suara radio, Dondinho berkaca-kaca karena anaknya terpilih masuk dalam skuad tim nasional: Brasil. Piala Dunia 1958 di Swedia telah di depan mata. Pele datang ke pertempuran dengan luka, kaki cedera. Dokter tidak bisa memastikan apakah dia bisa main. Pada babak penyisihan ia absen ketika Brasil imbang lawan Inggris dan menggasak Austria dan Soviet. Pele dipaksakan main oleh Vicente Feola (pelatih) pada perempat final melawan Wales ketika Brasil menang 1 – 0. Pele mencatatkan nama di papan skor. Perancis sudah menanti di semi final dan pertandingan usai dengan skor 4 – 2. Brasil lanjut ke final dan Pele menyalak dengan 2 gol!

Final ideal akhirnya terwujud: Brasil vs Swedia. Zico, juga pemain legendaris Brasil (yang belum pernah menyentuh piala), menyebut Brasil pada 1958 adalah tim terbaik dunia sepanjang masa karena di sana ada: Pele, Zagallo, Vava, Didi, dan Garrincha. Swedia performanya juga menakutkan, melantakkan lawan-lawannya dengan bengis. Mereka paling tidak punya dua pemain yang amat mengerikan: Gunnar Gren dan Niells Liedholm. Duet ini, bersama dengan Gunnar Nordhal, pernah menjadi trio maut AC Milan “Gre-No-Li”, sehingga pasti tidak mudah ditekuk. Benar saja, jala Brasil sudah bergetar di menit awal. Liedholm merobek gawang pada menit keempat.

Brasil tidak ingin air mata tumpah lagi seperti 1950. Didi menjadi jenderal lapangan untuk menunjukkan harkat Brasil. Maka, pesta itu tak lagi menguap. Vava menjebol 2 gol, Zagallo membobol 1 gol, dan Pele melesakkan 2 gol, yang salah satunya kelak akan dikenang sebagai gol terbaik dunia. Tendangan voli dengan teknik akrobat yang menawan dan arah yang presisi. Brasil menjunjung piala dan menjadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya. Pele membayar tunai janjinya ke Dondinho. Ayahnya keluar dari ruangan tempat menonton bola (kali ini tidak mendengarkan radio, tapi menonton TV hitam-putih) dengan air mata (air mata kemenangan), sambil menyeka air mata istrinya, Celeste.

Momen 1958 bukan hanya menjadikan Brasil juara, namun Pele juga menjadi legenda hingga hari ini. Ia satu-satunya pemain yang membawa negaranya juara tiga kali Piala Dunia. Brasil, sejak itu, adalah pelanggan juara (juara terbanyak, sudah lima kali) dan negara yang tidak pernah absen dalam kontestasi Piala Dunia. Hari ini Pele wafat. Dunia berkabung dan murung. Ia telah menjadi properti dunia. Saat Maradona meninggal pada 2020 silam, Pele berucap: “One day I hope we can play football together in heaven.” Dua raja bola itu telah memberikan kegembiraan kepada dunia lewat permainan ajaibnya. Lebih dari itu, mereka juga menjadi duta semesta: menyatukan aneka perbedaan atribut hidup lewat sepak bola. Tiba saatnya Pele (juga Maradona) membahagiakan diri sendiri. Sugeng tidak, Romo Pele.