Tantangan Menjadi Guru Generasi Alpha
Opini: Lia Suryanto, S.Pd.I.
(Guru SD Muhammadiyah Nitikan Yogyakarta)
Beritabaru.co – Status dan posisi guru selalu menjadi topik menarik di tengah laju perkembangan zaman. Sebagai bagian dari dunia pendidikan, peran guru dituntut untuk sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu, pengembangan kapasitas-diri (capacity building) dan upgrading diri sendiri dalam kompetensi dan kualifikasi adalah sebuah keniscayaan.
Saat ini guru sedang menghadapi perubahan besar untuk menyesuaikan diri menghadapi generasi alpha. Dunia digital yang tidak terbendung dan masuk ke semua lini kehidupan, termasuk di dunia pendidikan, menambah akselerasi dunia pendidikan semakin canggih. Dalam situasi demikian, dinamika dan tantangan menjadi guru bagi generasi alpha sangat menantang didiskusikan secara terbuka.
Sebagai pendidik, saya mengalami beragam tantangan dan sekaligus proses pembejalaran secara langsung. Tantangan dalam konteks kurikulum, dinamika proses pembelajaran di kelas, alat dan media teknologi, dan sekaligus tuntutan masyarakat telah memperkaya pengalaman bagi seorang guru untuk tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan zaman.
Kesediaan seorang guru untuk terbuka pada perubahan, mempunyai kepekaan dan kreatif, open minded dalam konteks pemikiran, melek teknologi (technology literate) dan juga mentally healthy (sehat secara mental) dapat membawa perubahan yang signifikan dalam proses edukasi bagi generasi alpha.
Sehingga transformasi ilmu, didikan dan dan pengalaman dapat menjadikan peserta didik bertahan dalam gempuran dunia digital dan tantangan-tantangan globalisasi yang sangat cepat dan menjadi bagian dekat dalam keseharian mereka. Sebagai generasi yang lahir di tengah pesatnya teknologi dan media sosial. Peserta didik dari generasi alpha dituntut memiliki otak cemerlang, tetapi jiwa dan raganya juga harus ikut terdidik.
Kecakapan demikian juga harus diterapkan secara komprehensif dan iklusif, tanpa diskriminasi. Merujuk pada Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2009, pendidikan yang bermutu tinggi dilaksanakan tanpa adanya diskriminasi.
Pemerintah juga menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, karena pendidikan adalah media pembentukan untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Semua itu perlu diimbangi dengan kecakapan guru yang berkualitas majemuk maka pada saat negara Indonesia memiliki bonus demografi pada tahun mendatang akan tercipta sumber daya manusia yang unggul, tangguh dan berkemajuan.
Dukungan Institusi
Institusi menjadi arena dan ruang sistematis yang sangat menentukan dalam pengembangan dunia pendidikan. Secara sederhana bisa dipahami bahwa institusi dan lembaga sekolah yang suportif dapat memberi ruang bagai pengembangan kualitas dan kompetensi guru.
Untuk itu, institusi sekolah yang mendukung tumbuh kembangnya guru yang berkualitas harus menjadi kesadaran dan perhatian semua pihak, terutama dunia pendidikan secara sistemik. Karena dalam praktik di lapangan, sebagai pengalaman langsung, orang tua berlomba-lomba mencari sekolah terbaik yang diukur dengan prestasi, guru-guru yang kompeten, fasilitas sekolah yang lengkap, dan lulusan yang terbaik. Semua ini harus lahir dari lingkungan lembaga dan institusi pendidikan yang suportif.
Institusi pendidikan yang suportif tidak hanya memberikan ruang bagi pengembangan kompetensi guru, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas sekolah, termasuk kebijakan institusi dan budaya akademik yang dibangun, memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan profesionalisme guru dan hasil belajar siswa (Fullan, 2016).
Dalam konteks ini, dukungan institusional yang kuat, seperti pelatihan berkelanjutan, kolaborasi antar guru, serta kepemimpinan sekolah yang visioner, menjadi faktor kunci dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang unggul (Hargreaves & O’Connor, 2018). Oleh karena itu, membangun institusi pendidikan yang mampu menumbuhkan kualitas guru dan siswa harus menjadi prioritas dalam kebijakan pendidikan.
Untuk itu, lembaga pendidikan terus berbenah diri, memodernisasi sistem dan budaya pendidikan di lingkungan sekolah. Prestasi-prestasi sekolah juga menjadi daya tarik bagi orang tua untuk menjatuhkan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya.
Guru mendapat porsi lebih besar dalam mengemban tanggung jawab dari pemerintah dan juga amanah dari orang tua. Guru tidak hanya mendidik, namun juga menanamkan landasan pondasi kehidupan yang kuat dan kokoh bagi peserta didik agar kelak mereka tidak limbung dan hilang arah menghadapi perubahan zaman, terutama di tengah tantangan mendidik generasi alpha.
Mendidik Generasi Alpha
Generasi alpha, merujuk pada Don Tapscott dalam buku Grow Up Digital (2008), adalah generasi yang lahir pada 2010-sekarang. Generasi alpha merupakan anak–anak yang dilahirkan oleh generasi milenial. Generasi alpha dinilai paling akrab dengan teknologi digital karena mereka lahir langsung berhadapan dengan teknologi digital dan paling akrab dengan internet sepanjang masa.
Mark Mc Crindler juga memprediksi bahwa generasi alpha tidak lepas dari gadget, kurang bersosialisasi, kurang daya kreatifitas dan bersikap individualis. Generasi alpha menginginkan hal-hal yang instan dan kurang menghargai proses. Keasyikan mereka dengan gadget membuat mereka teralienasi secara sosial.
Anak-anak generasi alpha sudah akrab dengan teknologi, internet dan gadget sejak kecil atau bahkan sebelum mereka dilahirkan yaitu fase dalam kandungan. Hal ini memicu ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan teknologi.
Generasi ini dapat menjadi generasi yang hebat bahkan melebihi generasi-generasi sebelumnya. Sebagai guru dan pendidik perlu memahami pola pendidikan yang sesuai dan tepat bagi mereka sehingga kelak mereka mampu menjadi generasi perombak peradaban yang positif dengan kecanggihan teknologi yang mereka kuasai.
Fenomena demikian memunculkan masalah sosial serius, misalkan di antaranya anak-anak tumbuh besar namun lambat dewasa, anak menjadi matang semu, lebih liar dan egois; mereka cerdas, tetapi memiliki pandangan yang keliru, memiliki wawasan luas namun kosong secara jiwa.
Mental anak-anak tidak berkembang sesuai kecerdasan mereka sehingga menjadikan anak matang semu. (Jin, 2014). Dunia digital juga ternyata dapat menyakiti jiwa anak-anak dan dapat merusak otak anak sehingga muncul istilah popcorn brain hingga ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
Untuk itu, saya sebagai bagian dari pendidik yang berhadapan langsung dengan generasi alpha mempunyai beberapa catatan yang berdasarkan pada pengalaman di lingkungan sekolah.
Pertama, technology literate, guru dapat memahami perkembangan teknologi sehingga guru-guru yang mengajar generasi alpha dapat dengan dinamis dengan seiringnya perubahan zaman dan kemajuan teknologi. Guru-guru generasi alpha diharapkan mampu menjembatani peserta didik dengan pendidikan lintas negara, lintas budaya maupun lintas agama. Guru wajib melek teknologi untuk membersamai generasi alpha.
Level tertinggi peningkatan sumber daya manusia sebagai kebangkitan guru generasi alpha adalah kemampuan beradaptasi dengan teknologi. Karena peserta didik yang ada di hadapan kita adalah digital native.
Kedua, guru perlu persiapan yang matang untuk melaksanakan digital teaching atau digital learning agar pola dan metode yang diimplementasikan tepat bagi mereka. Poin ini ingin menegaskan yang pertama bahwa setelah guru melek teknologi, hal yang perlu disiapkan adalah bagaimana teknologi membantu proses pembelajaran. Aspek ini juga untuk memastikan bahwa guru dapat bertahan dalam gempuran era digital yang tidak terbendung seperti sekarang ini.
Ketiga, open minded (berpikiran terbuka). Guru-guru yang mendidik generasi alpha harus open minded, yaitu kesadaran bahwa guru harus terbuka terhadap segala perubahan tantangan sosial budaya dalam masyarakat, terutama di dunia pendidikan sendiri.
Guru mampu menerima masukan maupun kritikan serta mampu mengintrospeksi diri sendiri untuk menyesuaiakan perubahan zaman. Tidak dipungkiri bahwa banyak guru-guru yang cenderung stagnan dan sulit menerima perubahan, misalkan saja kebiasaan guru yang masih mengandalkan ceramah saat proses pembelajaran di kelas sudah tidak sesuai jika diterapkan pada generasi alpha.
Ceramah merupakan bentuk pola pendidikan tradisional yang sangat melekat pada guru dan sulit untuk dihilangkan. Pembelajaran satu arah seperti ini menjadi salah satu hambatan untuk mengajar generasi alpha jika guru tidak mampu berubah.
Selain ketiga tantangan tersebut, saya ingin menambahkan poin terakhir, yaitu perhatian (concern) dan peduli terhadap masalah mental (mental health) baik bagi guru sendiri secara personal maupun kepada anak didik.
Mentally healthy (sehat mental) adalah memastikan bahwa guru memiliki kekuatan dalam diri, sehat secara mental demi membentuk peserta didik menjadi manusia merdeka yang sehat jasmani maupun rohani sesuai dengan tujuan pendidikan. Guru memiliki tantangan untuk membenahi karakter generasi alpha.
Tekanan dan tuntutan yang semakin tinggi, beban administrasi yang tidak ada habisnya membuat banyak guru mengalami gangguang kecemasan, stress berat yang dalam kondisi tertentu dapat berdampak pada depresi. Untuk itu, guru harus mempersiapkan kematangan (mental) diri yang kuat demi mendidik dan membangun generasi yang kuat pula. Guru harus bersiap menghadapi pergeseran karakter yang dapat kita amati dalam keseharian peserta didik generasi alpha yang lebih banyak terseret oleh trend terkini.
Lia Suryanto, S.Pd.I lahir 33 tahun silam di Desa Pesawahan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Lia Suryanto merupakan alumni Jurusan Kependidikan Islam, Fakutlas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini ibu dari dua orang anak menetap di Yogyakarta dan aktif mengajar sebagai guru Al-Islam SD Muhammadiyah Nitikan Yogyakarta. Pada tahun 2020 meraih Juara 1 lomba penulisan artikel opini Hari Ibu dengan judul “Sekolah di Rahim Ibu” yang diselenggarakan oleh PGRI Kota Yogyakarta dan tahun 2017 mendapat dana hibah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dari Majlis Dikdasmen PWM DIY. Penulis dapat dikontak melalui Instagram @liasingowidjoyo, Facebook @LiaSuryanto, Email : liasuryanto13@gmail.com