Dukung Transisi Ekonomi Hijau, Bank Besar di Indonesia Kurangi Kredit untuk Pertambangan
Berita Baru, Jakarta – Bank-bank besar di Indonesia, seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BCA), serta bank asing raksasa yang beroperasi di Indonesia, seperti Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) dan DBS Indonesia, mengambil langkah strategis dalam pendekatan bisnis mereka terhadap sektor pertambangan, khususnya batu bara. Langkah ini didorong untuk mendukung program pemerintah dalam Environment, Social, dan Governance (ESG).
Citi Indonesia, misalnya, telah mengikuti langkah Citigroup secara global yang menyalurkan kredit ke segmen ESG sebesar US$1 triliun hingga tahun 2030. Mereka berupaya mengurangi eksposur bisnis mereka ke sektor batu bara. Meskipun demikian, Citi Indonesia tetap berkomitmen terhadap sektor ini, mengingat kebutuhan batu bara sebagai sumber daya listrik masih berlangsung selama beberapa dekade.
“Sekarang arahnya akan lebih ke sumber daya hijau. Namun, bukan berarti kami akan sepenuhnya mengurangi kredit tambang. Kami akan mengalihkan fokus ke sektor pertambangan yang lebih bervariasi, seperti emas, tembaga, nikel, bauksit, serta aluminium oksida,” kata Head of Banking, Capital Markets and Advisory Citi Indonesia, Anthonius Sehonamin dikutip dari Bisnis.com, Senin (25/9/2023).
Pendekatan ini sejalan dengan visi pemerintah Indonesia yang berfokus pada transisi dari tahap hulu ke hilir dalam industri pertambangan. Seho juga menyoroti prospek positif sektor pertambangan di Indonesia, khususnya dengan pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV) yang sedang berlangsung.
Head of Global Network Banking Citi Indonesia, Wit Oemar, menegaskan bahwa Citi Indonesia tidak hanya fokus pada pembiayaan yang terkait dengan lingkungan atau energi terbarukan. Mereka juga akan memberikan dukungan kepada perusahaan-perusahaan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik dalam bisnis mereka.
Sementara itu, DBS Indonesia secara perlahan mengurangi pendanaan untuk proyek batu bara dan tetap membuka peluang pembiayaan, dengan syarat untuk melakukan transisi energi. Hal ini dilakukan mengingat dampak yang akan sulit mendapat perlindungan asuransi jika bank terus menerus membiayai proyek batu bara.
Direktur Institutional Banking DBS Indonesia, Kunardy Lie, mengatakan, “Semua orang sudah menghindar ke sana [batu bara], apalagi global warming kan makin parah. Makanya batu bara harus secara bertahap dihentikan, dan inilah cara kami berkontribusi.”
DBS Indonesia mencatat penyaluran pembiayaan senilai US$200 juta kepada perusahaan yang berhubungan dengan industri batu bara, tetapi bukan langsung terkait dengan eksploitasi batu bara. Kunardy optimistis bahwa DBS Indonesia dapat mengarahkan pembiayaan berkelanjutan hingga Rp5,5 triliun pada akhir tahun ini.