Dua Anak Anggota DPRD Ikut Seleksi KPID, Pengamat: Rentan Nepotisme
Berita Baru, NTB – Proses seleksi Komisioner Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) NTB sejengkal lagi memasuki tahap fit and proper test. Beredar nama-nama yang dinyatakan lulus dalam tahap penjaringan Pansel dua putra mahkota anggota Komisi I DPRD NTB. Masing-masing yaitu Marga Harun dan Aulia Rahman Cavhez.
Marga Harun diketahui merupakan anak Ketua Komisi I DPRD NTB Sirojudin dari Fraksi PPP. Sedangkan Aulia Rahman Cavhez merupakan anak dari Wakil Ketua Komisi I Abdul Hafid dari Fraksi Golkar.
Keikutsertaan dua putra mahkota anggota Komisi I DPRD NTB ini mendapat perhatian luas publik. Pasalnya, penentuan siapa yang akan lulus menjadi Komisioner KPID NTB nantinya ada di tangan Komisi I DPRD NTB.
“Bagaimana suasana etik seorang ayah yang merupakan pejabat publik melakukan fit proper tes terhadap anak-anaknya sendiri. Agak lucu aja,” terang Samsudin A Bakar dari Koalisi Masyarakat Peduli Penyiaran Sehat.
Menurutnya, proses rekrutmen Komisioner KPID NTB di era ini jauh dari kesan profesional. Bahkan menilai sebagai kegagalan Ketua Pansel menjaring calon-calon Komisioner handal dan profesional.
“Ya ini gak beres sejak awal. Coba pansel tunjukkan nilai anak-anak dewan yang ikut seleksi ini,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Partisipasi Publik untuk Advokasi Kebijakan (SIKON) NTB, Johan Rahmatullah SH., MH., menilai keikutsertaan anak-anak pejabat dalam rekrutmen yang melibatkan orang tua mereka sebagai penentu akhir seleksi sangat berpotensi memunculkan nepotisme.
“Hal itu jelas melanggar prinsip dasar UU 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” terang Johan.
Menurut UU 28 tahun 1999, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
“Kita harus melihat UU dalam konteks untuk menciptakan pejabat publik yang berintegritas. Terutama harus menghindari adanya benturan kepentingan bagi pejabat publik. UU ini yang harus dijadikan pedoman,” ujarnya.
Keterlibatan dua anak komisi I ini jelas melanggar semangat lahirnya UU 28 tahun 1999 yang menghendaki agar terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik-praktik KKN.
“Ini rekrutmen yang melibatkan lembaga politik apalagi ada hubungan bukan lagi hubungan kekerabatan tapi keluarga dekat. Jelas berpotensi munculnya praktik KKN,” tegas Johan.
Sehingga menurutnya, tidak patut secara hukum dan etika. Harusnya kedua peserta tersebut sejak awal harus secara sadar mengundurkan diri. Bukan malah tetap menjadi peserta.
“Mentang-mentang ada keluarga menjadi anggota dewan,” tutupnya.