Dilema Imam Jadi Makmum Pada Pilkada Sumenep
Opini: Abdul Mufti Abigail
(Dosen Ilmu Politik dan Peneliti Lepas)
Figur kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi Pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada di Tanah Wiraraja. Maklum saja suara pemilih terbanyak sekitar 70% berasal dari para kelompok santri. Kelompok yang memiliki magnet bagi siapapun untuk maju pada kontestasi pilkada di Tanah Wiraraja.
Representasi tertinggi dari kelompok santri pada konteks pilkada tentunya ada pada figur kyai. Figur yang bukan sekedar mumpuni di bidang agama saja, namun juga bidang politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Boleh diyakini bahwa politik bagi kyai merupakan salah satu instrumen agar menjadi kepastian untuk kekuasaan dengan seperangkat nilai dan norma yang melekat didalamnya termasuk asas-asas keadilan dapat dijalankan dengan baik dan benar pada kehidupan bermasyarakat.
Kenyataan yang ada pada proses pilkada Tanah Wiraraja menunjukkan bahwa figur kyai memiliki dua cermin yang berbeda. Cermin pertama telah menunjukkan tentang figur seorang kyai yang memiliki peluang untuk memimpin Tanah Wiraraja melalui cara menjadi calon bupati dengan dukungan basis massa partai politik yang besar dan ditambah lagi dengan posisi ketua DPC partai politik di Tanah Wiraraja.
Modal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, terbukti sang tokoh lebih mau di pinang menjadi calon wakil bupati oleh partai lain dan belum mendapat rekomendasi dari DPP partai tempat sang tokoh bernaung. Keputusan yang di ambil oleh sang tokoh kyai untuk menjadi calon wakil bupati tentunya sangat disayangkan, tidak sebanding dengan potensi yang dimiliki oleh partai politik di mana sang tokoh bernaung.
Kemauan sang tokoh untuk dipasangkan sebagai calon wakil bupati menunjukkan ketidakberanian atau bahkan ketidakseriusan untuk menjadi pemimpin dalam tataran yang lebih luas. Terlebih partai yang meminang sebagai calon wakil bupati memiliki keinginan untuk menjadikan pilkada Tanah Wiraraja 2024 hanya diikuti oleh calon tunggal. Apabila hal ini terwujud tentu sangat ironis. Terlebih dilakukan oleh partai yang konon katanya membawa nilai-nilai demokrasi, namun pada kenyataannya mematikan nilai-nilai demokrasi.
Cermin kedua tentang jatuh bangunnya seorang figur kyai yang coba di jegal, agar tidak mendapat rekomendasi DPP dari partai yang dipimpinya di tingkat DPC dan dukungan koalisi partai lain. Figur kyai tersebut memiliki komitmen yang kuat untuk maju sebagai calon bupati Tanah Wiraraja. Figur kyai yang di dukung masyarakat dan tokoh-tokohnya untuk maju sebagai calon bupati, bukan maju sebagai calon wakil bupati.
Bagi sang kyai penting rasanya untuk memiliki pemimpin terlahir dari kalangan santri yang memiliki jumlah terbanyak dalam daftar pemilih di Tanah Wiraraja, agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan sesaat saja. Kesadaran untuk tidak dimanfaatkan oleh pihak lain memiliki arti penting sebagai upaya membangun pendidikan politik oleh sang figur kyai melalui jalur calon bupati, terlebih pencalonan sebagai calon bupati menunjukkan dan mengajarkan nilai-nilai perjuangan, kepercayaan diri dan kemandirian dalam proses pendidikan politik pada masyarakat.
Mengamati dua cermin yang berbeda, setidaknya dapat dipahami bahwa figur kyai menjadi magnet dalam mendulang suara pemilih, selain itu juga figur kyai di tengah-tengah masyarakat merupakan figur yang sangat dihormati dan disegani. Figur yang memiliki kharismatik kepemimpinan pada penyelesaian persoalan kehidupan bermasyarakat.
Tidak salah apabila konstruksi sosial masyarakat berharap pemimpin yang muncul pada pemilihan calon kepala daerah dari seorang figur kyai. Bukan sekedar muncul untuk jadi pelengkap saja dalam mendulang suara, namun juga figur yang berani dan mampu terdepan dalam kepemimpinan di masyarakat.
Cukup disayangkan apabila seorang figur kyai tidak memilih peran menjadi calon pemimpin (bupati) ketika memiliki sumber daya yang mendukung dan potensial untuk memenangkan kontestasi pilkada di Tanah Wiraraja.
Dorongan figur kyai untuk maju sebagai calon bupati memiliki perumpamaan bahwa seorang calon bupati seperti seorang imam yang akan memimpin makmumnya Maka cukup disayangkan apabila terdapat seorang figur kyai, yang seharusnya memimpin seperti imam ternyata lebih memilih menjadi makmum.
Teringat suatu cerita di kampung tentang seorang ustadz yang menjelaskan bahwa yang memimpin sholat itu bernama imam. Penjelasan ini di sanggah oleh salah satu santrinya yang kebetulan dari kampung sebelah mengatakan bahwa yang memimpin sholat di kampungnya bernama Abdul. Tentunya sanggahan santri tersebut di bantah oleh ustadz dan akhirnya menjadi perdebatan antara ustadz dan santri tersebut.
Apabila teringat oleh sanggahan santri tersebut yang mengatakan bahwa yang memimpin sholat bernama Abdul, bisa jadi ada benarnya karena yang namanya imam telah menjadi makmum pada kontestasi politik di Tanah Wiraraja.