Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini
Ekonom Senior INDEF dan Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini

Didik J. Rachbini: Utang Pemerintah Naik Drastis Tanpa Kontrol



Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina mengadakan Diskusi Publik dengan tema “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar”. Dalam diskusi ini, Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyampaikan kritik tajam terhadap peningkatan utang pemerintah yang mencapai Rp 8.300 triliun pada periode saat ini.

Didik memulai dengan membandingkan utang pada era SBY yang sebesar Rp 2.600 triliun dengan utang saat ini yang melonjak drastis. Ia mempertanyakan dasar dari kenaikan utang ini, yang menurutnya didasari pada defisit APBN yang terus meningkat tanpa bukti yang kuat.

“Rupanya dasarnya berdasar pada defisit APBN sehingga kemudian dihitung-hitung menjadi dasar dari menaikkan anggaran utang dengan pedoman defisit APBN satu persen menjadi dua persen lalu tiga persen dengan tanpa evidence,” ujarnya.

Ia juga mengkritisi cara pemerintah dalam mengambil keputusan terkait peningkatan utang yang dianggapnya serampangan dan berbahaya. Didik mencontohkan, ketika ada kritik terhadap utang yang tinggi, otoritas keuangan sering kali membandingkannya dengan utang negara lain seperti Jepang. Namun, menurut Didik, perbandingan tersebut tidak tepat. “Utang Indonesia 800 T, bunga yang kita bayar adalah 497 T, sementara di Jepang hanya membayar 40-45 T karena bunga hanya 0,7%,” jelasnya.

Rektor Paramadina ini juga menyoroti rendahnya kapasitas ekspor Indonesia dibandingkan dengan Jepang. Ia menyebutkan bahwa devisa yang dihasilkan dari ekspor nikel Indonesia sebesar Rp 3 triliun, namun 80% dari devisa tersebut habis untuk membayar utang kepada investor pabrik nikel di Indonesia.

“Jadi bunga utang pemerintah Indonesia kini memang sangat menguras APBN,” tambahnya.

Didik menekankan bahwa total utang pemerintah jika ditambah dengan utang publik seperti utang pemda dan utang BUMN mencapai Rp 15.295,86 triliun atau 70% dari total jumlah APBN Indonesia. Ia juga mengidentifikasi enam faktor kritis dalam isu ekonomi politik Indonesia, di antaranya adalah nafsu kuasa yang tidak terkendali, kepemimpinan ekonomi yang lemah, politisi yang memaksimumkan anggaran di luar batas, kurangnya check and balances, interaksi politik di parlemen yang buruk, dan korupsi yang meluas karena biaya politik yang mahal.

“Politisi memaksimumkan anggaran di luar batas, padahal satu-satunya Undang-undang yang tidak boleh diambil otoritasnya oleh parlemen adalah UU APBN. Dan itu otoritasnya Menteri Keuangan,” tegas Didik. Ia juga menyebut bahwa Covid-19 dijadikan alasan untuk peningkatan utang yang sangat besar.

“Pada 2019, perencanaan sebelum ada Covid-19, utang SBN dianggarkan Rp 650 T, tapi karena ada pandemi Covid-19 dibuat menjadi Rp 1.541 T,” jelasnya.

Didik menambahkan, di negara maju seperti Jerman, kenaikan anggaran APBN 2% saja sudah berdebat luar biasa, sementara di Indonesia anggaran dengan mudahnya dinaikkan tanpa ada perdebatan berarti. “Hal itu rakyat memang tidak tahu, dan hanya intelektual dan akademisi yang paham, Bu SMI tahu, tapi membiarkan saja,” tutupnya.