Didik J. Rachbini: Reindustrialisasi Berbasis SDA Solusi untuk Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Berita Baru, Jakarta – Dalam catatan akhir tahunnya, ekonom senior INDEF sekaligus Rektor , Prof. Didik J. Rachbini, mengkritik strategi ekonomi pemerintah dan menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen sulit tercapai tanpa perubahan mendasar pada kebijakan sektor industri. Ia menekankan perlunya strategi reindustrialisasi berbasis sumber daya alam untuk mengatasi deindustrialisasi dini yang selama ini menghambat pertumbuhan.
“Sektor industri telah terjebak dalam deindustrialisasi dini. Tanpa strategi reindustrialisasi yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk bersaing di pasar internasional, target pertumbuhan 8 persen tidak akan tercapai,” ujar Didik.
Ia menyoroti rendahnya pertumbuhan sektor industri, yang selama beberapa tahun terakhir hanya berkisar antara 3-4 persen. Kondisi ini jauh dari cukup untuk mendukung target pertumbuhan yang ambisius, baik selama pemerintahan Presiden Jokowi maupun pemerintahan Presiden Prabowo. “Selama sektor ini diabaikan, lupakan target tinggi tersebut,” tambahnya.
Selain itu, Didik mengingatkan bahwa pasar internasional yang semakin kompetitif memerlukan pendekatan baru. Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia mengincar pasar-pasar baru di luar Eropa, China, dan Amerika Serikat. “Duta besar harus diberi target meningkatkan ekspor dan memastikan neraca perdagangan bilateral menjadi positif,” jelasnya.
Tidak hanya membahas sektor industri, Didik juga mengkritisi pengelolaan fiskal pemerintah, terutama terkait utang negara yang terus membengkak. Dalam catatan tersebut, ia mencatat bahwa rasio utang terhadap PDB meningkat dari 26 persen pada 2010 menjadi 38,55 persen pada 2024, dengan total utang mencapai Rp8.473,90 triliun.
“Politik anggaran kita hanya mencerminkan politik yang sakit, tanpa kontrol dan tanpa check and balances yang sehat. Demokrasi ekonomi kita telah lumpuh selama 10 tahun terakhir,” tegas Didik.
Ia juga menyoroti tingginya bunga utang Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lain, seperti Thailand (2,7 persen) dan Vietnam (2,8 persen). Hal ini, menurutnya, membuat porsi belanja pemerintah lebih banyak tersedot untuk membayar bunga utang ketimbang belanja produktif.
Didik menutup catatannya dengan memberikan masukan kepada pemerintah agar lebih realistis dalam menetapkan target dan mengelola perekonomian nasional. “Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat sasaran yang tinggi,” tutupnya.
Catatan kritis ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan ekonomi yang lebih terarah dan strategis diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di masa depan.