Dari Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual hingga Anggaran yang Menyusut
Oleh: Rizka Fitriyani
Analisa – Kasus kekerasan dalam bentuk apa pun kepada perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es. Setiap tahun laporan atas kasus kekerasan yang terjadi semakin bertambah. Kekerasan Fisik, kekerasan psikis, bullying, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual, pelecehan seksual non-fisik maupun pelecehan seksual fisik di tempat kerja, di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di tempat umum semakin sering terjadi.
Berdasarkan data kekerasan—berdasarkan waktu pelaporan—yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) melalui aplikasi simfoni memperlihatkan bahwa angka kekerasan kepada perempuan dan anak semakin bertambah setiap tahunnya. Pada 2020, angka kekerasan pada perempuan melonjak 8,2 persen menjadi 18,2 ribu dari tahun 2019 sebesar 17,03 ribu. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah kasus kekerasan pada anak yang semakin meningkat di tahun 2020 hingga 2021.
“Kekerasan tidak memandang gender, usia, pakaian, siapa pelaku kekerasan, kondisi saat kejadian, lingkungan saat kejadian. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk bukanlah hal yang harus dimaklumi dengan pemahaman kultur, tetapi harus dihentikan.“
Kultur di Indonesia yang belum sepenuhnya mendukung keberpihakan kepada korban, kondisi lingkungan yang tidak mendukung perlindungan dan pemulihan pada korban, keadilan, ketimpangan kuasa, membuat korban sering kali mengalami reviktimisasi, sehingga banyak yang enggan melaporkan. Kebiasaan di Indonesia yang masih berputar-putar sebatas menyalahkan korban dengan permasalahan pakaian, mengaitkan dengan kebiasaan umum di masyarakat, dan lainnya membuat permasalahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es.
Alokasi anggaran KPPA dan KPAI: anggaran masih perlu ditingkatkan
Mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk merupakan salah satu target capaian dalam SDGs khususnya pada tujuan 5-kesetaraan gender, tujuan 10-berkurangnya kesenjangan, dan tujuan 16-perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Target capaian tersebut juga diintegrasikan dalam RPJMN pemerintah yang diaktualisasikan dalam berbagai bentuk program dan kegiatan. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran pada KPPA dan Komisi.
Melihat lebih jauh mengenai alokasi anggaran pada KPPA dan KPAI terlihat bahwa alokasi anggarannya justru mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun, dengan rata-rata pertumbuhan anggarannya hanya sebesar -19 persen pada realisasi 2018-2021. Rata-rata rasio belanja anggaran belanja KPPA dan KPAI terhadap belanja pemerintah pusat bahkan hanya sebesar 0,022 persen per tahunnya.
Angka ini sangatlah kecil sekali jika dibandingkan dengan alokasi belanja kementerian/lembaga lainnya. Pada outlook 2022 alokasi anggaran KPPA hanya sebesar Rp0,2 triliun atau 0,019 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp1.032,50 triliun, dan pada RAPBN 2023 belanja KPPA dialokasikan sebesar Rp0,3 triliun atau 0,030 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp993,2 triliun. Ini memperlihatkan bahwa belum terjadi peningkatan pada alokasi belanja KPPA.
Di sisi lain untuk merespons fenomena gunung es kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran Dana Pelayanan PPA kepada pemerintah daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Alokasi anggaran ini dimulai sejak tahun 2021 dan dilanjutkan hingga saat ini. Pada RAPBN tahun anggaran 2023 dana Pelayanan PPA direncanakan sebesar Rp132,0 miliar atau hanya sebesar 0,101 persen terhadap total DAK non-fisik sebesar Rp130,30 triliun yang diperuntukkan bagi pendanaan layanan perlindungan perempuan dan anak di 275 daerah.
Jika kita bagi ratakan terhadap 275 daerah maka diperkirakan setiap daerah mendapatkan hanya sekitar Rp480 juta per daerah. Melihat semakin meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak maka sudah seharusnya alokasi untuk PPA juga ditingkatkan.
Melindungi perempuan dan anak dMelindungi perempuan dan anak dalam kekerasan seksual: UU No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS)
Tahun 2022 merupakan titik cerah bagi penanganan kasus-kasus terkait pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak, yang ditandai dengan disahkan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Disahkannya UU ini, menjadi salah satu capaian untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari berbagai kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak. UU TPKS ini terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal, di mana terdapat 8 poin utama dalam UU TPKS ini, yaitu:
- UU TPKS menyebutkan bahwa segala perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual, yaitu setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non-fisik.
- UU TPKS memberikan perlindungan kepada korban termasuk korban revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modul balas dendam kepada korban, di mana pada UU TPKS terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik.
- Memberikan denda dan pidana terhadap pemaksaan hubungan seksual, pidana penjara atau denda untuk tindak pemaksaan perkawinan; Pemaksaan perkawinan termasuk didalamnya pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan juga termasuk tidak pidana.
- Adanya pidana tambahan untuk pelaku kekerasan seksual dimana pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya mendapat hukuman penjara dan denda, namun terancam mendapatkan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pembayaran restitusi.
- Ancaman pidana dan denda untuk korporasi. Bahkan korporasi yang melakukan TPKS juga terancam mendapatkan pidana tambahan, berupa: pembayaran restitusi. pembiayaan pelatihan kerja. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak kekerasan seksual. pencabutan izin tertentu. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha atau kegiatan korporasi, pembubaran korporasi.
- Keterangan saksi/korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan terdakwa. Dalam UU TPKS, satu keterangan dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang. adapun alat bukti yang sah untuk membuktikan TPKS, yaitu: keterangan saksi. keterangan para ahli, surat petunjuk keterangan terdakwa, alat bukti lain seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
- Korban memiliki hak untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan poin penting lainnya yang ada dalam UU TPKS yaitu korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
- Penyelesaian kasus pelecehan seksual tidak bisa menggunakan pendekatan restorative justice; Restorative justice adalah penyelesaian perkara yang menitikberatan kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban; Hal ini berguna untuk menghindari upaya penyelesaian masalah dengan menggunakan uang; Tidak diperkenankannya restorative justice harapannya para pelaku bisa jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Meskipun masih jauh dari sempurna, UU TPKS merupakan titik cerah dan diharapkan dapat menjadi payung hukum atau legal standing untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual di Indonesia. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan tetap bersinergi dalam melakukan penyelarasan dan menyiapkan peraturan pelaksana UU TPKS, mengingat penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak harus segera ditindaklanjuti karena kasus kekerasan yang terjadi sebenarnya lebih tinggi daripada yang dilaporkan.