Citra Satelit CSIS Buktikan Tidak Ada Fasilitas Militer China di Maladewa
Berita Baru, Internasional – Maladewa, sebuah negara ‘mini’ kepululaan yang terkenal dengan keindahan wisata pantainya yang menenangkan, kini mulai terseret dalam konflik internasional. Namun apakah benar demikian?
Semua bermula dari investasi. Pada Desember 2016 Muncul laporan yang mengatakan bahwa sebuah perusahaan China menggelontorkan jutaan dolar untuk menyewa lahan di Feydhoo Finolhu, Maladewa selama 50 tahun.
Kemudian, sebulan yang lalu, India seperti tak mau kalah. Pada tanggal 13 Agustus 2020, India memberikan bantuan investasi untuk proyek infrastruktur kepada Maladewa sebesar US$ 500 juta dolar.
Bantuan itu dianggap mempunyai tujuan lain selain motif ekonomi, yaitu untuk menghadang Belt and Road Initiative dari China.
Investasi dari China itu dilakukan pada saat Maladewa dipimpin oleh Presiden Yameen, yang kemudian dipenjara lima tahun karena kasus pencucian uang.
Media India mengatakan Feydhoo Finolhu itu akan digunakan untuk fasilitas militer China. Akan tetapi tidak banyak data mengenai hal ini. Hingga beberapa pengamat mengkhawatirkan negara yang seperti ‘surga’ ini tercemari.
Namun, baru-baru ini Center for Strategic and International Studies (CSIS) bersama dengan Asia Maritime Transparancy Initiative (AMTI) menerbitkan laporan yang menunjukkan data bahwa projek China di Maladewa memang untuk tujuan pariwisata, meskipun itu ‘berlebihan’.
Feydhoo Finolhu merupakan pulau kecil yang luasnya hanya 0,5 mil persegi. Pulau itu terletak 3 mil laut dari ibu kota Maladewa, Malé.
Lokasinya yang strategis karena pulau kecil ini memiliki posisi yang baik untuk memantau lalu lintas ke dan dari bandara internasional terdekat di Malé.
Selain itu, dikombinasikan dengan harga sewa yang rendah menimbulkan spekulasi bahwa ini lebih dari sekedar pembangunan komersial.
Perusahaan penyewa atau pengembang tetap menjadi misteri hingga menciptakan berbagai spekulasi.
Namun, menurut CSIS, sejak mulai disewa, atau setidaknya mulai Desember 2017, perusahaan China itu mulai melakukan pekerjaan pengerukan dan penimbunan untuk memperluas Feydhoo Finolhu.
Pekerjaan itu dipercepat pada tahun berikutnya, membuat pengamat khawatir bahwa perluasan itu akan memberi ruang bagi dermaga, landasan terbang, atau fasilitas lain dengan penggunaan ganda sipil dan militer.
Dari citra satelit itu, terlihat bahwa resor Feydhoo Finolhu tampaknya selesai sebagian besar pada Agustus 2020. Vila-vila kecil berjejer di sepanjang pantai di sekitar pulau, sementara satu-satunya bangunan yang lebih besar adalah cluster kecil di dekat pelabuhan yang kemungkinan besar merupakan gedung administrasi dan pertokoan.
Terlihat juga puluhan bungalow berjejer di atas terumbu itu sendiri. Pohon-pohon palem juga berjejeran rapi menghiasi pulau itu.
“Perusahaan pengembang China mengeruk saluran ke terumbu tepi dan membuat pelabuhan kecil untuk berlabuh kapal. Tapi dermaga itu sederhana dan tampaknya ditujukan untuk kapal sipil, mungkin mengangkut tamu yang terbang ke Malé di dekatnya,” tulis laporan CSIS.
Akan tetapi, terlihat juga bahwa masih ada beberapa wilayah kosong yang berpotensi untuk membangun selain resor, seperti misalnya fasilitas militer.
Selain Feydhoo Finolhu, Perusahaan Cina juga sedang membangun resor serupa di Kunaavashi. Perusahaan China itu adalah Tolarno Maldives Kunaavashi Resort yang diduga telah menjadi fasilitas militer rahasia.
Tetapi dugaan itu telah memudar karena pemilik dan operator lebih transparan daripada di Feydhoo Finolhu.
CJL Investment, perusahaan patungan Guangdong Beta Oceans dan mitra Maladewa, menyewa pulau Kunaavashi selama 50 tahun.
Pengerukan dan konstruksi dimulai pada 2015. Resor ini semula diharapkan dibuka pada akhir 2016 tetapi kemudian ditunda hingga 2020.
Tidak jelas apakah resor tersebut telah mulai beroperasi. Resor ini akan dikelola oleh La Vie Hotels and Resorts, sebuah perusahaan asal Australia.
Seperti Feydhoo Finolhu, citra satelit baru-baru ini menunjukkan bahwa pulau Kunaavashi persis seperti yang diklaimnya: resor, lengkap dengan vila tepi laut, bungalow di atas air, dermaga kecil, dan rumpun pohon palem.
Di sinilah kemudian Presiden Yameen tertangkap karena proyek pembangunan proyek jembatan yang menghubungkan Malé dengan Hulhumale.
“China Harbour Engineering Company adalah kontraktor utama dalam proyek jembatan tersebut. Jembatan secara resmi dibuka pada tahun 2018 dengan perkiraan biaya $ 210 juta. China mendanai lebih dari setengahnya dengan hibah, dan sisanya dengan pinjaman,” tulis laporan CSIS.
Entitas dan perusahaan China telah mengejar proyek lain di Maladewa. Dan beberapa dari mereka telah memicu desas-desus serupa tentang potensi akses militer atau masalah strategis yang sehubungan dengan Belt and Road Initiative.
“Tapi sepertinya tidak ada yang sedang berlangsung,” tulis CSIS.
Pada 2015, kesepakatan dengan Asia Resorts untuk mengembangkan pulau Fahala di Atol Thaa gagal. Proyek tersebut kemudian dilaporkan diserahkan kepada China Engineering and Machinery Corporation. Namun citra satelit terbaru tidak menunjukkan perkembangan.
Hal yang sama berlaku untuk proyek Bandara Fahala yang diperdebatkan di situs yang sama. Ada juga rumor keterlibatan China dalam proyek pengembangan Pulau Olhugiri. Tapi itu terletak di Cagar Biosfer Dunia UNESCO dan citra sama sekali tidak menunjukkan apa-apa di situs tersebut.
Lalu ada Observatorium Makunudhoo. Proyek ini sebenarnya bergerak maju dan mungkin memiliki implikasi strategis yang nyata. Administrasi Kelautan Negara China mengusulkan kepada pemerintah Maladewa agar keduanya membangun “Stasiun Pengamatan Laut Bersama” di Makunudhoo, yang merupakan pulau paling barat di negara itu.
Kesepakatan itu diselesaikan pada tahun 2017, sekitar waktu yang sama ketika China dan Maladewa menandatangani perjanjian perdagangan bebas baru.
Tetapi India segera khawatir bahwa Beijing akan menggunakannya untuk mengamati lebih dari sekedar kondisi laut. Pejabat India menghabiskan beberapa tahun berikutnya mendesak agar proyek tersebut dibatalkan.
Dan pada Juni 2019, Maladewa membatalkannya.
Maladewa memang negara kepulauan yang sangat strategis, namun negara itu sangat bergantung pada pinjaman asing.
China dan India sementara ini menjadi yang terdepan. Dan kedua negara itu kini sedang berada dalam situasi yang ‘panas’ terkait konflik ekonomi dan konflik perbatasan.
Namun, banyak pihak yang menduga bahwa China dapat berusaha menggunakan pengaruh ekonomi di Maladewa untuk mendapatkan konsesi politik.
“Bahkan mungkin mencoba melangkah lebih jauh, mencari akses ke fasilitas dengan implikasi militer yang jelas seperti observatorium yang diperdebatkan di Makunudhoo,” tulis CSIS.