Benarkah Otsus Papua Gagal?
Berita Baru, Jakarta – Isu pembebasan tujuh tahanan politik (Tapol) Papua dari Balikpapan mulai bergeser ke perdebatan seputar revisi (terbatas) otonomi khusus (Otsus) Provinsi Papua. Benarkah Otsus gagal?
Padahal selama lima tahun terakhir, anggaran negara untuk Papua terus meningkat. Secara rata-rata, misalnya, daerah Papua mendapat kucuran dana empat kali lipat lebih banyak dari Jawa Timur.
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta, Dr. Adriana Elisabeth menyatakan, kebijakan Otsus Papua hanya satu dari sekian banyak kebijakan untuk membangun daerah Papua, termasuk di masa pandemi Covid-19.
“Para petugas dari dinas sosial dan Bulog membawa ribuan ton karung beras ke kantor-kantor Distrik (kecamatan) untuk disalurkan kepada penduduk di wilayah pedalaman Papua, khususnya program Rastra (beras sejahtera) atau bantuan sosial berupa beras bagi penduduk prasejahtera,” kata dia dalam keteranganya, Minggu (5/7).
Menurut Adriana, hampir semua bansos diangkut lewat jalur udara, seperti untuk warga masyarakat di Kabupaten Puncak, Papua. Transportasi (udara) sangat mahal, namun angkutan ini yang tersedia untuk mengirim logistik ke pedalaman, meskipun biaya angkut menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan nilai bansos (harga beras) itu sendiri.
Seperti provinsi lainnya, terang Adriana, keluarga prasejahtera di provinsi Papua dan Papua Barat menerima juga bantuan sosial berupa Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan iuran BPJS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar), KIP Kuliah, dan belakangan bantuan sosial terkait pandemi Covid-19 berupa sembako Rp600 ribu, Kartu Prakerja, subsidi listrik, serta bantuan alat kesehatan (rapid test, PCR, reagen untuk mesin PCR, ventilator, terutama untuk penduduk di wilayah pedalaman Papua.
Sekilas Dana Otsus Papua
“Gambaran singkat kondisi Papua itu dapat menjadi catatan kekurangan atau kelemahan Otsus Papua, meskipun predikat sebagai daerah otonomi khusus, baik provinsi Papua maupun Papua Barat masih memiliki hak-hak politik yang berlaku bagi posisi kepala daerah di seluruh Papua, dimana bupati, wali kota, dan gubernur harus putra asli Papua,” ujar Adriana.
Sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang diperbarui dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 (bersama dengan Nangroe Aceh), dua provinsi di Tanah Papua juga memiliki hak- hak ekonomi dan sosial dan budaya.
Hak ekonomi antara lain dana Otsus sebesarnya 2 persen dari seluruh DAU (dana alokasi umum) dari APBN. Ada pula Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) yang berlaku 25 tahun untuk dua provinsi di Papua.
Dana Otsus yang bergulir sejak 2002 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan OAP, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan DIT untuk mendukung pengembangan infrastruktur daerah.
“Belum lagi, program-program khusus dari satuan kerja kementerian dan lembaga (K/L), baik secara langsung maupun lewat instansi yang secara vertikal berada di bawahnya,” terangnya lagi.
Sejalan dengan berlakunya ketentuan desentralisasi fiskal, anggaran untuk program khusus dikelola oleh daerah.
Pada 2019, dana pembangunan untuk provinsi Papua dan Papua Barat mencapai Rp63,1 triliun.
Ia menyebut sebanyak Rp46,8 triliun ditransfer dari pusat ke daerah untuk didistribusikan kepada pemerintah provinsi, pemkot dan pemkab.
Dana itu terdiri dari Rp8,36 triliun dana Otsus dan Rp4,3 triliun DTI. Kemudian sebanyak Rp15,1 triliun lainnya bersumber dari APBN berupa program dari satuan kerja K/L.
Di luar itu, jelas dia, ada pula dana kampung yang secara umum sering disebut dana transfer ke daerah.
“Dalam kalkulasi sederhana, dengan jumlah penduduk sekitar 4.3 juta jiwa (3,3 juta orang di provinsi Papua dan 1 juta orang di provinsi Papua Barat), maka alokasi dana APBN yang bisa dinikmati warga Papua mencapai Rp14,7 juta per kapita. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional yang hanya berkisar Rp3 juta sampai Rp3,5 juta,” jelasnya menambahkan.
Dana yang dialokasikan untuk dua provinsi di Papua itu mengalami kenaikan yang cukup tinggi dalam lima tahun terakhir. Pada APBN 2014, transfer dari Pusat ke Papua dan Papua Barat masih di Rp 31,75 triliun dan menjadi Rp63,1 triliun di 2019.
Dari jumlah itu, Rp45 triliun mengalir ke provinsi Papua dan Rp18,1 triliun ke provinsi Papua Barat. Adapun dari Rp8,36 triliun dana Otsus di 2019, sejumlah Rp4,4 triliun menjadi bagian dari belanja provinsi Papua dan Rp3,96 bagi provinsi Papua Barat.
Dana Otsus dan DTI untuk Tanah Papua juga terus bertambah. Bila pada 2014 dana Otsus masih Rp6,8 triliun kemudian menjadi Rp 8 triliun pada 2017, dan Rp8,36 triliun di 2019. Untuk DTI Rp2,5 triliun di 2014 menjadi Rp3,5 triliun di 2017 dan Rp4 ,3 triliun pada 2019.
Lantas, bagaimana kontribusi kedua provinsi di Papua untuk APBN?
Elisabeth menyebut sebanyak 48 persen PDRB (produk domestik regional bruto) dari PT Freeport Indonesia di Timika. Dari pajak, royalti, deviden, dan pungutan lainnya, penerimaan negara menurut laporan Freeport McMoran adalah Rp2,43 triliun (2015), Rp6,14 triliun (2016), dan Rp11,6 triliun (2017).
Pada 2019, penerimaan negara dari provinsi Papua dan provinsi Papua Barat sekitar Rp20 triliun, termasuk dari pajak dan bagi hasil dari industri LNG (gas cair) PT. British Proteleum (BP) di Tangguh, Bintuni dengan perkiraan nilai mencapai sekitar Rp3,4 triliun (2018).
“Jadi, penerimaan negara pada 2019 diperkirakan di bawah Rp25 triliun.”
Membangun Narasi Positif berbasis Fakta
Meskipun ada Otsus dengan dana yang terus meningkat setiap tahun, ketidakpuasan masih melanda sebagian warga Papua. Akumulasi persoalan ketidakadilan sosial ekonomi, masalah keamanan dan pelanggaran HAM mudah meletup menjadi aksi-aksi massa seperti tahun lalu yang sebagian berlangsung anarkis.
Lepas dari adanya kelompok politik yang sengaja meniupkan isu diskriminasi rasial, masih terdapat banyak persoalan di Tanah Papua (sejak pemberlakuan Otsus Papua 2001). Semua seakan menjadi “bom waktu” belum lagi ditambah prasangka buruk dan simpang siur informasi yang mudah memantik kemarahan masyarakat.
Otsus Papua tidak terbukti menjadi “jalan tengah”. Masih ada disharmonisasi relasi dan perbedaan perspektif tentang keberhasilan atau kegagalan Otsus. Namun memang, model pembangunan Papua perlu diubah bukan lagi “membangun di Papua” melainkan “Papua membangun”.
Dalam konteks Otsus Papua, perlu diingat kembali bahwa pada awal Otsus Papua ditetapkan. Tidak proses transisi administrasi dan politik, dan tidak ada pendampingan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi Papua untuk mengemban kewenangan otonom dalam kerangka Otsus.
Bagaimana mengelola Otsus dan anggarannya secara transparan dan akuntabel?
Proses transisi yang tidak mulus berakibat pada pemahaman yang tidak sama mengenai Otsus Papua. Sebagian orang hanya paham substansi Otsus secara parsial, namun yang lain hanya tahu mengenai dana Otsus (Otsus adalah uang).
Esensi Undang-Undang Otsus Papua adalah pada pemihakan, perlindungan dan pendampingan bagi OAP agar dapat mencapai kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) di berbagai bidang.
Namun Otsus Papua kerap menjadi perdebatan. Apakah Otsus hanya milik orang Papua? Bagaimana dengan warga Papua yang lain? Apakah mereka tidak bertanggungjawab atas proses pembangunan di Tanah Papua?
Otsus Papua harus direvisi, namun prosesnya tidak bisa ditentukan oleh Pemerintah Pusat saja, melainkan perlu melibatkan elemen-elemen di tujuh wilayah adat di seluruh Papua dan juga warga lain yang selama ini berkontribusi positif bagi Papua.
Membuka ruang konsultasi publik dalam konteks revisi Otsus Papua akan membangun kesadaran bersama bahwa setiap proses memerlukan legitimasi dan ownership, sehingga setiap keberhasilan ataupun kegagalan akan menjadi tanggung jawab bersama.
Ruang publik harus dibuka dengan bahasa dan komunikasi tanpa kekerasan (non-violent communication), tanpa stigma dan diskriminasi.