Beka Ulung Hapsara, Konflik Wadas, dan Pemerintah yang Terburu-buru
Berita Baru, Tokoh – Pada 8 Februari 2022 ratusan aparat gabungan dari Polisi Republik Indonesia (Polri), Tentara Republik Indonesia (TNI), dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Purworejo melakukan pendampingan terhadap tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hendak melakukan pengukuran tanah di Wadas.
Kegiatan yang rencananya akan dilaksanakan selama 8 – 10 Februari 2022 ini ditujukan untuk mengukur lahan warga yang sudah setuju untuk melepaskan lahannya.
Meski demikian, gesekan tetap terjadi. Warga dari pihak yang kontra terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) ini merasa bahwa hak-haknya sebagai warga negara tidak dihormati.
Akibatnya, beberapa hal yang tidak diinginkan muncul ke permukaan, seperti penangkapan sejumlah 67 warga Wadas, penyitaan senjata tajam warga yang biasa digunakan untuk berkebun, penyitaan ponsel, dan sebagainya.
Membaca konflik tersebut, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) Beka Ulung Hapsara menyampaikan bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi jika pemerintah tidak terburu-buru untuk melakukan pengukuran tanah.
Komnas HAM, kata Beka, beberapa kali telah melayangkan surat permintaan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) untuk menunda proses pengukuran tanah.
Pada pertengahan Januari 2022, permintaan Komnas HAM mendapatkan respons positif dari Pemprov Jateng. Pihaknya kemudian diminta untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat Wadas dan pemangku kebijakan.
Dialog berlangsung dua kali, yakni pada pagi tanggal 20 Januari dan malam harinya. Di malam hari, dialog digelar di Wadas langsung dan Komnas HAM berhasil mengantongi beberapa permintaan langsung dari warga.
“Kami berhasil mengadakan dialog. Di Pagi hari, semua hadir di dialog ini, termasuk dari warga yang pro. Tapi warga yang kontra tidak bisa hadir, karena mereka mengajukan beberapa syarat yang harus diselesaikan dulu sebelum memutuskan untuk hadir,” papar Beka.
Permintaan tersebut mencakup dua (2) hal: warga ingin Gubernur Jateng bisa hadir langsung di Wadas dan aparat keamanan yang diturunkan secukupnya.
“Besoknya, kami sampaikan permintaan ini langsung pada Gubernur dan beliau siap meski tanpa pengawalan,” kata Beka dalam Gelar Wicara Bercerita ke-84 Beritabaru.co, Selasa (15/2).
“Tapi, meski begitu, dinamika berkata lain. Pengukuran tetap saja dilakukan dan Komnas HAM baru tahu kabar ini pada tanggal 7 (Februari) malam,” imbuhnya.
Ada apa dengan pengukuran tanah?
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah perihal pengukuran tanah, tegas Beka. Ini tidak tentang bahwa lahan yang diukur adalah milik warga yang sudah setuju, bukan juga tentang harapan agar ketika tanah diukur, maka warga yang kontra akan berubah pikiran dan berkenan melepas lahannya.
Namun, ini tentang betapa di Wadas masih ada warga yang menolak desanya untuk dijadikan quarry.
“Satu, ketika pengukuran tetap dilakukan, maka itu sama artinya kita tidak mengormati warga yang kontra,” ungkap Beka, “dan dua, sebenarnya mereka tidak mau itu bukan karena apa pun melainkan tidak mau desanya dijadikan quarry.”
Dengan ungkapan lain, yang warga kontra perjuangkan bukanlah lahan pribadinya, tetapi Desa Wadas itu sendiri.
Jika sudah begini, Beka melanjutkan, yang tidak boleh diabaikan pemerintah adalah pentingnya melakukan penelitian terlebih dulu terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan psikologi masyarakat yang kontra.
Dari riset tersebut kemudian, pemerintah perlu menyusun dan memikirkan strategi yang persuasif untuk mendekati pihak yang kontra.
“Intinya adalah pemerintah tidak boleh buru-buru!” tegas Beka dalam diskusi yang ditemani oleh Odent Muhammad, host Beritabaru.co.
“Termasuk di dalamnya adalah dampak yang dilahirkan, seperti bullying di kalangan anak-anak antara anak warga yang kontra dan pro, kerenggangan sosial, dan semacamnya,” imbuhnya.
Pendeknya, menurut Beka mengapa pengukuran tanah yang dilakukan pada 8 Februari lalu berbuah ketegangan karena pertama, di Wadas masih ada pihak yang kontra dan kedua, pendekatan yang digunakan lebih ke represif ketimbang persuasif—ini terbukti dari banyaknya aparat keamanan yang dikerahkan.