Begini Komentar Gus Nadir jika Gus Dur Menjadi Presiden Hari Ini
Berita Baru, Jakarta – Nadirsyah Hosen atau yang akrab disapa Gus Nadir mengungkapkan pandangannya terkait jika Gus Dur masih hidup hari ini dan menjadi presiden dalam acara Haul Gus Dur ke-12 Hijriyah, Minggu (22/8).
Bagi Gus Nadir, ketika Gus Dur sekarang menjadi Presiden Indonesia, maka akan ada banyak kebijakan penanganan COVID-19 yang disandarkan pada kaidah-kaidah fikih dan maqasid syariah.
“Tentang apakah harus mengutamakan agama, hifzuddin, atau kesehatan, hifzunnafs, maka Gus Dur akan menggunakan kaidah sihhatul abdani muqaddamatun ‘ala sihhatul adyani, kesehatan badan lebih diutamakan ketimbang kesehatan agama,” ungkap Gus Nadir dalam sarasehan yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) ini.
Ketika yang dihadapi adalah pertentangan antara ekonomi dan kesehatan, Gus Nadir melanjutkan, maka Gus Dur tidak akan gamang untuk menggunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddamun’ala jalbil masalih.
“Kaidah ini menyuratkan pemahaman betapa menjaga kesehatan harus didahulukan, sebab itu adalah wujud penolakan kita terhadap kejelakan dibanding meraih kemaslahatan berupaka ekonomi,” paparnya dalam acara yang dihadiri sekitar 1200 peserta virtual ini. .
Gus Dur akan mengambil sikap demikian, kata Gus Nadir, sebab ia cenderung menolak angka-angka statistik.
Bagi Gus Dur, angka statistik soal apa pun itu, tidak lebihnya adalah sebuah bra. Dalam arti, yang utama dari bra bukanlah branya itu sendiri, tetapi isinya.
“Iya, angka statistik, guyonannya Gus Dur, itu seperti kutang. Yang utama isinya, yang ada di baliknya, bukan kutangnya itu,” kata Gus Nadir.
Negara paling optimis nomer dua se-dunia
Dalam perayaan yang ditayangkan secara langsung via Youtube DPP PKB, kanal Youtube NU, dan Facebook DPP PKB ini Gus Nadir juga menyinggung seputar apa yang lebih penting dari data statistik.
Menurut Gus Nadir, yang lebih mendasar untuk diperhatikan darinya adalah apa yang tidak bisa dijangkau data statistik, yakni kesehatan mental.
Untuk mendukung argumennya, Gus Nadir mengulas tentang data bahwa negara maju dan termasuk jajaran terkaya di dunia, Prancis dan Australia, memiliki tingkat optimisme yang sangat rendah selama pandemi ini.
“Tingkat optimisme masyarakat Prancis dan Australia dalam menjalani hidup saat pandemi hanya 3%. Jadi, 97% dari mereka hidup dalam bayang-bayang pesimisme,” papar Gus Nadir.
Indonesia, lanjutnya, menempati posisi kedua dengan 23% yang optimis. Posisi ketiga diraih oleh Arab Saudi, yakni 16%.
“Dan peringkat pertama diperoleh Tiongkok. Sebanyak 41% masyarakat Tiongkok optimis dalam menjalani hidupnya yang ini berarti bahwa kesehatan mental mereka baik,” Imbuhnya dalam acara yang dihadiri pula oleh Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB, Mahfud MD, Sujiwo Tejo, Rukka Sumbolinggi, dan Yusuf Chudlori ini.
Dari data tersebut, Gus Nadir menarik kesimpulan bahwa di luar angka statistik yang kerap ditampilkan di media, ada kesehatan mental yang tengah terancam, yaitu lebih dari 50% masyarakat dunia merasa terjebak dalam pesimisme yang kelabu untuk menjalani hidup di tengah pandemi.
Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan betapa tingkat ketaatan sekaligus kepercayaan pada Tuhan dan kekayaan dalam suatu negara memiliki korelasi negatif dengan tingkat optimisme serta kesehatan mental masyarakatnya.