Bank Perlu Tingkatkan Kapasitas Menghadapi Risiko Perubahan Iklim
Berita Baru, Jakarta – Dewi Rizky, Conservation Officer WWF-Indonesia, menyoroti bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan juga terkena dampak risiko perubahan iklim. Ia menyatakan, perubahan pasar dan kebijakan terkait bahan bakar fosil merupakan risiko yang harus diperhitungkan oleh sektor perbankan.
“Pada saat yang sama bank juga berperan penting dalam meningkatkan ketahanan sektor-sektor lain terhadap perubahan iklim,” ungkap Dewi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Laporan Sustainable Banking Assessment (Susba) ke-7 yang dirilis oleh WWF memberikan penilaian komprehensif tentang integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) terhadap 39 bank di negara-negara ASEAN serta 10 bank besar di Jepang dan Korea Selatan. Khusus untuk Indonesia, Susba 2023 mencakup 11 bank, termasuk Bank Mandiri, BCA, BRI, BNI, dan beberapa bank lainnya.
Menurut laporan tersebut, dari 11 bank di Indonesia, hanya empat yang memiliki komitmen untuk mencapai net zero. BRI dan BTPN menargetkan pencapaian tersebut pada tahun 2050, sementara BCA dan BNI menargetkannya pada tahun 2060. Dua bank, BCA dan BRI, telah menghitung emisi gas rumah kaca mereka, namun baru BRI yang menerapkan Science-based Target Initiative (SBTi).
Laporan juga menunjukkan bahwa pengembangan produk keuangan yang mendukung transisi net zero masih terbatas, terutama untuk skala kecil dan menengah. Selain itu, risiko dampak alam dan keanekaragaman hayati terhadap kinerja keuangan belum menjadi prioritas utama bagi sebagian besar bank di Indonesia.
Rizkia Sari Yudawinata, Sustainable Finance Lead WWF-Indonesia, menekankan pentingnya peningkatan kapasitas bank untuk mengelola risiko ESG dan perubahan iklim. “Perbankan Indonesia perlu meningkatkan upaya atas kebijakan dan prosedur agar nasabah mereka memiliki rencana mitigasi/rencana aksi untuk mencapai target Perjanjian Paris,” katanya.
Data dari OJK dan BPS menunjukkan bahwa rasio kredit untuk kelompok UMKM mencapai 12,38% dari total aset perbankan pada tahun 2023. Namun, dukungan khusus yang disalurkan untuk usaha kecil dan menengah dalam bertransisi menerapkan praktik berkelanjutan masih sangat terbatas (27%).
“Tanpa dukungan kuat, industri padat karya rentan terkucilkan. Perbankan perlu mengembangkan produk yang solutif dan sekaligus memfasilitasi langkah mereka menerapkan praktik keberlanjutan,” pungkas Rizkia.