Auschwitz | Puisi-Puisi Ilham Rabbani
Auschwitz
1.
Di Auschwitz,
udara
hampir
basah darah.
Kawat sekarat
dan usia
terus mengarat
cepat-cepat.
Kau membayangkan
satu kabar baik
seperti burung
tertembak peluru
dalam perjalanan–
kepak mereka, kesekian
selesai
di beku-lentang salju.
Setiap orang berseru:
“Tolong aku! Tolong
peluk aku!”
Apakah Kau
menginginkan pulang?
2.
Gerbong-gerbong kereta
sedia, menuju
pemberhentian
usia.
Kau
tak ingin
terus di sana–
Kau
menginginkan
pulang.
Tetapi,
kata rumah–
telah sirna
dari perbendaharaan
kata kita
setelah
perang usai:
kata “pulang”
dan rumah-rumah
telah sama
jadi remah;
jadi puing;
jadi angin.
Yogya, 2022
Lelap
: gadis-gadis Kawabata
1.
Tubuhmu
adalah gerbang
ke hari-
hari silam.
Lelap masa muda
membuka mata
dalam ruang
senyap kata.
Begitulah mungkin
hasrat diciptakan:
dari kait
sepasang keasingan
dan sasar
keinginan.
Biar kudekap tubuhmu
membekap terjaga,
lalu biarkan
ingatanku berkejaran
dengan angsa
di ruang
niskala.
Lenganku yang renta
(disayat usia, dan
digarami bayang-
bayang maut)
tak menemukan
pendaratan lagi
selain
kelelapanmu.
Angin
di luar kamar
menolak mengusik;
tetapi,
seakan-akan
kepedihan jatuh
dan ketakutan
pada maut
terus menguntit–
menertawai
pelarianku.
2.
Tubuhmu
adalah gerbang
ke hari-
hari silam;
tetapi
di sana
hanya bayang
dan terus
bayang.
3.
Masa muda
yang terjaga
raib tanpa kata
setelah napasmu purna
sebagai sunyi;
sebagai ngeri;
sebagai tragedi.
Yogya, 2022
Ketelanjangan
: dari Agamben
1.
Di tubuhmu
aku melihat
ada
yang terlucut,
dan tanah sekelilingmu,
juga langit
selengkung itu,
mengarahkan ramalan kalut
ke jantung
tersenyapmu.
Dari arah yang jauh
lesat dua peluru
menyibak udara–
dan kerikil
di tanah termangu–
dijaring bahasamu
untuk
terakhir kali.
2.
Dalam ketiadaan–
di sisi
kaparan mayatmu sendiri–
Kau membaca:
sehari lalu, seseorang
menghapus namamu
dari senarai
seteru
negara kita.
Yogya, 2022
Kappa
: Akutagawa
1.
Terakhir kulihat kilat;
dan licin lembah
menarikku
ke semesta
para Kappa.
2.
Di manakah
dunia-dunia yang asing
diletakkan
oleh para Dewa–
tempat para Kappa
tak lagi menghisap
darah kuda?
3.
“Sebuah dunia
setidaknya dicipta
dari seribu
kebaikan Ibu,
dan satu
dengusan siluman.”
4.
Tetapi perjalanan
telah membawaku
pada Dunia Kappa,
tempat mereka,
jadi
pemakan
batu bara–
dan segala,
termasuk lengan-lengan
Kappa lainnya
yang tersisih
dari pabrik
dan pungkas
nama pekerja.
5.
Akulah tokoh itu–
di hadapan petapa tua,
pada lembar
terakhir cerita:
seutas tali
yang diulurkan awan
telah membawaku
ke semesta lainnya,
tempat manusia-manusia
paling andal
bersandiwara.
6.
Di gedung
konser ini,
sebuah kursi
dilemparkan
ke arahku.
Aku mendengar–
Tock, seperti
suara Tock–
“Tirani!
Tirani!
Tirani!”
terus bergema
di mana-
mana–
terus bergema
di tiap
sudut kota.
Yogya, 2022
Obor Kecil
: Pleman
Kata yang sepatah
menyala
dalam dada
seorang Nabi.
Kau
tepat: dunia
adalah gua
gelap.
Maka
di sudut-
sudut bangunan:
biji-biji jarak
telah menyala–
biar petunjuk
tak lagi
turun tersesat
ke arah
sukma.
Kau sebut
ia pleman: nyala
pada malam
ke-23.
Tepat
pada perjamuan,
nyalanya
membakar aorta
yang lama
dipelihara
dalam
senja kala.
Praya-Yogya, 2022
Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media massa, baik cetak maupun daring (Koran Tempo, Lombok Post, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co, Sastramedia.com, Dialektikareview.org, Kibul.in, Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id, Haripuisi.com, Lensasastra.id, Omong-omong.com, Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain). Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) adalah buku esainya yang telah terbit. Dapat dihubungi via: WhatsApp +6281285809579; akun Instagram @_ilhamrabbani; atau surel ilhamrabbani505@gmail.com. Nomor rekening (Bank BRI) 1008-01-008946-50-6 a.n. Ilham Rabbani.