Aset Mental | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
Jika sedang senggang, tak ada kelirunya membuka kanal Youtube dan melihat konser Rod Stewart yang melantunkan gita “I Don’t Walk to Talk About It” di Royal Albert Hall. Video itu sudah ditonton 437 juta khalayak. Kidung itu juga masuk 100 tembang paling “eloquent” sepanjang masa. Ia bernyanyi di gedung itu sekitar 4 tahun lalu, ketika usianya 72 tahun (Januari lalu Rod baru merayakan ulang tahun ke-76). Ini bukan semata soal lagunya, tapi ketangguhan Rod menjaga stamina, pita suara, dan keseluruhan penampilan dalam kurun yang begitu panjang (album pertamanya lahir 1969). Perihal ini, barangkali ia hanya bisa diimbangi oleh vokalis rock kakap lainnya: Mick Jagger.
Kisah hayat Rod sejatinya dipenuhi keperihan. Hidupnya adalah kelok kegagalan. Ia merasa berbakat sebagai pemain bola, namun tak satu pun klub yang mau menerimanya. Ia patah hati, jauh lebih muram dari patah kaki. Rod lalu jadi pengamen di pojok-pojok London, sampai kemudian bertemu gitaris legendaris: Jeff Beck. Jeff yang membuatnya menjadi “manusia” dengan mengajak masuk ke grup cadas besutannya. Kepercayaan dirinya tegak dan sejak itu sepak terjangnya tak bisa dibendung. Ujungnya, ia telah menjadi sejarah. Salah satu penggalan dendang itu barangkali bagian dari kisah masa silamnya yang pilu: “blue for the tears, black for the night’s heart….”
Riwayat perjuangan Rod tidaklah unik, sebab banyak pula dijalani orang lain, salah satunya Edson Arantes do Nascimento (Pele), legenda sepakbola Brazil. Sebelum mekar sebagai pemain besar, pelatih Santos FC terpikat oleh gocekan bolanya. Ia boyong anak itu ke asrama. Di pendadaran Pele pernah frustrasi dan membawa kopernya ke stasiun untuk pulang ke kampungnya. Pelatihnya menyusul, tapi tidak untuk mengemis. Ia cuma bergumam: “Terlalu banyak orang berbakat di dunia ini yang menjadi pecundang gegara tak sudi berjuang.” Saat kereta tiba, Pele berubah pikiran dan kembali berlatih memperjuangkan keyakinan.
Sebagian dari penggemar bola saat ini pasti juga silau dengan kehebatan Cristiano Ronaldo. Selama 15 tahun terakhir ia (bersama Lionel Messi) silih berganti menjadi pemain terbaik dunia. Pada usia 36 tahun pemain berjuluk CR7 masih sangat kokoh di Serie A Italia, bahkan menjadi pencetak gol terbanyak. Klub yang dibela menjadi juara liga. Rahasianya? Pasti banyak yang bilang karena talenta yang luar biasa. Tentu saja jawaban itu tidak salah, namun ada hal besar yang luput dijawab di balik bakatnya yang luber. Dia selalu datang latihan paling pagi, dan setelah semuanya pulang ia masih berpeluh sendiri atau pergi ke tempat kebugaran. Ia “siksa” tubuhnya demi menjaga stamina dan kelihaian menggocek bola.
Ketiga pesohor itu mendaki dua perkara sekaligus: mengikis nafsu dan menikmati terjal perjuangan. Syahwat bukan sekadar menyalurkan hasrat untuk mencecap kelezatan, tapi juga kesanggupan mengeliminasi frustrasi, hampa, dan keletihan berkorban. Ketika mereka bisa melewati ketakberdayaan memang tak lantas menggapai kemenangan. Tetapi, kesanggupan berjuang kembali menandakan keberanian menatap hari depan. Perjuangan melawan nyeri “haus dan lapar sepanjang hari” menjadi aset mental untuk tetap berjejak di bumi. Itu yang membuat Rod, Pele, dan Ronaldo tetap bertahta melampaui uji masa yang penuh onak.