AS Upgrade Pasukan di Laut China Selatan
Berita Baru, Internasional – Pada hari Jumat (14/8), satu unit pasukan serang dari kapal induk USS Ronald Reagan Reagan melakukan latihan di Laut China Selatan (LCS), termasuk latihan penerbangan dan pelatihan pertahanan anti-udara untuk mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Unit pasukan serang itu adalah USS Ronald Reagan (CVN 76), Carrier Air Wing 5 (CVW), USS Antietam (CG 54), USS Mustin (DDG 89), dan USS Rafael Peralta (DDG 115).
“Pelatihan terintegrasi, termasuk operasi udara-ke-udara, latihan pencarian dan penyelamatan tempur, dan latihan pertahanan udara untuk meningkatkan kemampuan pasukan gabungan dalam menanggapi kontinjensi regional dan menjaga kesiapan perang,” kata Angkatan Laut dalam rilis pers.
Dalam rilis pers itu, Angkatan Laut AS menekankan bahwa latihan dilakukan untuk mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
“Ronald Reagan Carrier Strike Group dikerahkan ke depan ke area operasi Armada ke-7 AS untuk mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka,” tulis rilis pers itu.
Selain operasi dan latihan yang melibatkan USS Ronald Reagan, pesawat dan kapal pendukungnya, latihan pada hari Jumat itu juga terintegrasi dengan Angkatan Udara AS.
Salah satu unit militer dari Angkatan Udara AS yang terlibat adalah pembom strategis B-1B Lancer. Pesawat pengebom itu terbang keluar dari Guam untuk ikut latihan perang bersama di laut dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kesiapan bersama.
Latihan Angkatan Laut AS itu diadakan di tengah ketegangan antara AS dan China pada berbagai masalah, mulai dari sengketa LCS, perdagangan, virus korona, pertengkaran diplomatik yang melibatkan penutupan konsulat di Houston dan Chengdu, dan kritik AS terhadap kebijakan China di Hong Kong dan Taiwan.
Masalah terbaru China dan AS adalah terkait dengan Taiwan dan Guam. AS terus ‘mendorong demokrasi’ di Taiwan sementara China terus mengklaim bahwa Taiwan masih merupakan wilayahnya. Kepentingan AS di Taiwan terlihat karena AS mempunyai pangkalan militer di Pulau Guam.
Pada hari Kamis (13/8), China secara terbuka memperingatkan ‘separatis’ Taiwan dengan melakukan latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan, menurut Global Times.
Xu Guangyu selaku pensiunan senior Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dan penasehat Asosiasi Pengendalian Senjata dan Perlucutan Senjata China, mengatakan bahwa China akan memberikan balasan jika AS terus memperluas hubungannya dengan ‘separatis’ Taiwan.
“PLA dapat mengambil lebih banyak tindakan balasan, termasuk latihan peluru kendali langsung di timur Pulau Taiwan dan dekat Guam,” kata Xu Guangyu, dilansir dari Global Times.
Namun, tampaknya ancaman dari China tidak membuat AS mundur. Bahkan Taiwan sendiri pun malah meningkatkan anggaran pertahanannya.
Menurut Global Times, media Taiwan melaporkan bahwa belanja pertahanan Taiwan tahun depan akan naik 10,2 persen dibandingkan tahun ini. Pemimpin Taiwan Tsai Ing-Wen pada Kamis mengusulkan dana sekitar US$ 15,42 miliar dalam pengeluaran militer untuk tahun yang dimulai pada Januari 2021.
Pada gilirannya, pada hari Jumat (14/8), Pentagon menyelesaikan kontrak untuk penjualan 66 jet tempur F-16 ke Taiwan, terlepas dari kekhawatiran China bahwa penjualan senjata AS ke Taiwan sangat melanggar prinsip satu China.
Guam, pangkalan utama angkatan laut dan udara AS di Pasifik, telah menjadi pusat perhatian strategis untuk Pentagon di tengah penyebaran senjata baru China yang disebut sebagai senjata ‘pembunuh kapal induk’, seperti rudal balistik jarak menengah Dongfeng-26.
Rudal balistik Dongfeng-26 dilaporkan mampu menyerang pulau itu dari daratan China, sehingga membahayakan operasi angkatan laut AS di seluruh Pasifik Barat.
Sementara itu, sengketa wilayah di LCS antara China dengan Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Taiwan semakin panas, di mana masing-masing pihak membuat klaim atas bagian-bagian perairan strategis yang lebih dekat ke pantai mereka sendiri.
Sengketa wilayah di LCS tercatat sudah ada bahkan sejak perang dunia kedua. Dan sengketa itu berpusat di sekitar pelayaran strategis, penangkapan ikan, dan sumber daya energi.
Menurut Sputnik, pada tahun 2002, China dan kelompok negara ASEAN mulai merundingkan ‘kode etik’ untuk kawasan tersebut, namun hanya sedikit kemajuan yang dicapai sejak awal 2010-an karena adanya misi ‘kebebasan navigasi’ AS yang sedang berlangsung di seluruh laut dunia.