Amnesti untuk 44 Ribu Narapidana, Pemerintah Diminta Perbaiki Regulasi
Berita Baru, Jakarta – Pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana, termasuk yang terkait kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyambut langkah ini, namun menegaskan perlunya perbaikan regulasi agar praktik kriminalisasi tidak terus berulang.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, menyatakan bahwa amnesti harus disertai dengan penghapusan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang selama ini sering digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi.
“Kalau amnesti diberikan tanpa diiringi kebijakan penghapusan pasal-pasal bermasalah, maka kriminalisasi hanya akan terulang. Ini harus menjadi kebijakan yang menyentuh akar masalahnya,” ujar Isnur, Jumat (13/12/2024) seperti dikutip dari VOA.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, menilai amnesti dapat meringankan beban lembaga pemasyarakatan yang sudah kelebihan kapasitas. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diikuti dengan langkah konkret untuk menghentikan praktik overkriminalisasi. “Tanpa perbaikan regulasi, kebijakan ini hanya menjadi langkah populis yang tidak menyelesaikan akar persoalan,” ungkap Dimas.
Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menggarisbawahi pentingnya transparansi dalam proses pemberian amnesti. “Kebijakan ini harus dilakukan secara akuntabel, dengan prosedur yang dapat diakses publik untuk memastikan bahwa pemberian amnesti sesuai dengan prinsip keadilan,” kata Maidina.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, pemberian amnesti dilakukan atas dasar kemanusiaan, dengan tujuan mengurangi kepadatan lapas dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah, termasuk Papua. Presiden Prabowo Subianto telah memberikan persetujuannya, dan pemerintah akan meminta pertimbangan dari DPR sebelum kebijakan ini diterapkan. “Amnesti ini mencakup beberapa kategori, seperti kasus penghinaan kepala negara melalui UU ITE dan narapidana yang sakit berkepanjangan,” jelas Supratman.
Sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi, pemerintah juga memprioritaskan kasus-kasus ringan di Papua, dengan harapan langkah ini dapat memperkuat perdamaian. “Ada sekitar 18 orang di Papua yang masuk dalam prioritas amnesti, terutama mereka yang tidak terlibat dalam tindakan bersenjata,” tambahnya.
Langkah pemberian amnesti ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi jangka pendek bagi kepadatan lapas, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk mereformasi kebijakan hukum yang lebih adil dan menghormati hak asasi manusia.