Aksi RUU Cipta Kerja: Walhi Gunakan APD dan Disinfeksi untuk Virus Oligarki
Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingukangan Hidup (Walhi) Indonesia melakukan aksi protes terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang masih terus dilakukan pembahasan.
Dengan memakai seperangkat alat pelindung diri (APD), aksi simbolis tesebut dilakukan di depan gerbang DPR/MPR RI, Kamis (9/7)
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial -Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana mengatakan ada sekitar 25 orang yang turun dalam aksi menggunakan APD.
Dalam aksinya, Walhi turut memainkan teatrikal dengan melakukan penyemprotan atau disinfeksi terhadap virus oligarki yang dinilai terdeteksi di gedung DPR lantaran Omnibus Law terus dibahas.
Wahyu mengatakan, penolakan Walhi terhadap RUU Cipta Kerja didasari atas empat hal. Mulai dari RUU tersebut yang tidak memiliki urgensi dan semangat melindungi lingkungan hidup, tidak melindungi kepentingan rakyat, hingga muatan RUU yang dipandang meningkatkan laju kerusakan lingkungan hidup. Terakhir, proses penyusunan RUU yang dianggap tidak sesuai prosedur sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang 12 Nomor Tahun 2011.
“Secara garis besar kita minta pembahasan RUU Omnibus Law dihentikan lantaran menurut kami cacat prosedur di dalam mekanisme pembentukan drafnya. Secara subtansi pun demikian, cacat juga, baik problem terhadap lingkungan atas nama HAM-nya, lebih-lebih dia juga bertentangan dengan konstitusi,” kata Wahyu.
Wahyu menambahkan, berdasarkan catatan Walhi diketahui ada 31 pasal yang kembali dimasukan ke draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, padahal semua pasal itu sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
”RUU ini hanya akan membawa Kembali Indonesia pada era otoritarianisme, semua-semuanya mau ditabrak untuk kepentingan korporasi. bahkan konstitusi juga ditabrak, setidaknya ada 31 pasal teridentifikasi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Wahyu.
“Bahkan tanpa Omnibus Law saja, pemerintah dan DPR cenderung mengabaikan konstitusi, hukum, dan tidak jarang menabrak regulasi, bisa dilihat bagaimana pada kasus penetapan Ibu Kota Negara (IKN), cetak sawah di Kalteng, kasus-kasus kriminalisasi, dan berbagai aturan regulasi yang dirubah hanya untuk menyediakan karpet merah bagi korporasi,” kata Wahyu mengakhiri.