AJI Catat 84 Kasus Kekerasan pada Jurnalis Selama 2020
Berita Baru, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sebanyak 84 kasus kekerasan menimpa jurnalis sepanjang tahun 2020. Angka tersebut adalah tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
“Menurut pendataan dan analisis yang kami lakukan terhadap apa yang terjadi selama 2020 ini ada dua aspek yang paling krusial yaitu kebebasan pers dan kesejahteraan. Hal itu memberikan ilustrasi yang kurang menggembirakan terhadap yang dihadapi jurnalis dan pers. Karena itu kami menyebut ini, tahun kelam jurnalis Indonesia,” ujar Abdul Manan Ketua Umum AJI dalam konferensi pers, Senin (28/12).
Menurut Abdul, kekerasan pers yang terjadi kepada wartawan tahun ini mengalami kenaikan sangat drastis jika dibandingkan 10 tahun yang lalu. Pada 2019 tercatat 53 kasus.
“Sebelum tahun 2020 kasus tertinggi itu tahun 2016 sebanyak 82 kasys. Tahun ini mencatat kenaikan yang drastis, saya pikir ini bukan kabar yang bagus bagi wartawan dan pers Indonesia,” jelasnya.
Kata Abdul, wartawan di Jakarta paling banyak yang mengalami kekerasan yaitu 17 kasus. Kemudian Malang 15 kasus, dan posisi ketiga Surabaya 7 kasus.
“Dari jenis kasus sebagian besar berupa intimidasi dengan 25 kasus, kekerasan fisik 17 kasus, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan 15 kasus, dan ancaman atau teror sebanyak 8 kasus,” katanya.
Lebih lanjut, Abdul mengatakan, dari segi pelaku kekerasan polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul dengan orang yang tidak dikenal 8 kasus dan warga 7 kasus.
Menurutnya, peristiwa yang menyumbang kasus kekerasan terhadap wartawan terbanyak yaitu saat peliputan demonstrasi omnibus law.
“Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sipil termasuk buruh dan mahasiswa pada periode awal Oktober, karena demonstrasinya masif dan tentu saja wartawan meliput peristiwa itu, kekerasan pun terjadi mulai dari intimidasi untuk tidak meliput sampai pemukulan dan juga perusakan dan perampasan alat video, foto. Tentu saja dengan peristiwa seperti itu data AJI ini mencatat pelaku kekerasan kepada wartawan adalah polisi. Karena polisi lah yang melakukan pengaman omnibus law,” katanya.
Pihaknya menyayangkan atas kenaikan kasus kekerasan pers yang tidak sejalan dengan Undang-undang Pers yang berlaku.
“Saya pikir ini bukan kabar yang bagus bagi wartawan dan pers Indonesia karena kita berharap bahwa kasus kekerasan seharusnya cenderung menurun bukan malah sebaliknya,” pungkasnya.