Aduhai Abang, Demi Alam dan Anak Cucu Kita
Aduhai Abang, Demi Alam dan Anak Cucu Kita
Oleh: Acik Jen
Sajak, – Besok pagi. Sekali ketika embun masih bernas di daunan, akan aku ajak melihat lahan yang diberitakan di koran tadi, abang. Beralas tikar pandan berpayung nyiur melambai, kita seduh kopi dan meminumnya bersama.
Kau tau Bang?, pohon-pohon nyiur rencannya akan di tebang habis untuk pembangunan TPA berteknologi tinggi.
Mari beranjak abang, mentari sudah membumbung tinggi, peluh para petani bersinergi dengan doa-doa. Kita susuri kebun-kebun sawit milik investor, ah mamang-mamang yang dulunya punya lahan menangis tanpa air mata sebab menjadi buruh ditanahnya.
Sudah sore Abang, mari kita susuri bibir pantai dan nikmati indahnya senja. Namun, jangan terkejut jika tak Abang dengar dendang angin sore sebab sudah tergadai oleh derap mesin tambang timah.
Ah Abang, desa ku kini bukan lagi desa yang dilukiskan di buku gambar sewaktu sekolah dasar, juga bukan lagi tempat bujang dayang berdebar hati saat lantunan dambus menembus sunyi malam.
Aduhai Abang, demi alam dan anak cucu kita nanti, aku tidak anti modernitas dan apa-apa yang mengatasnamakan pembangunan. Hanya abang, jika menghilangkan denyut kemanusiaan dan kesyahduan desa serta eksploitasi alam, maka Abang maafkan jika aku benar-benar mengutuknya.
Abang, kau dan aku pasti merasa sembilu di hati. Sudah mari kita beranjak, akan ku bawa kau menikmati malam dipelataran kolam ikan. Lihat ke langit Abang, bulan dan bintang masih bersetia dengan langit dan tersenyum sebab kau sudah datang dengan segenap rindu dan cinta.
Bangka, 14 Februari 2018.
Acik Jen, Lahir dan tinggal di Bangka Belitung. Sempat menimba ilmu di Yogyakarta, kini ia mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik di salah satu kampus di kotanya. Perempuan 26 tahun itu, aktif menulis di berbagai media masa. Buku antologi puisinya yang pernah terbit berjudul “Serumpun Rindu”, Epistemic Yogyakarta 2015.