Santri dan Potensi Besar Jadi Agen Strategis Bangsa
Oleh: Zainal Muttaqin
Sebagai seorang santri kita bukan hanya dituntut untuk belajar tentang agama. Pada praktiknya, santri juga harus bisa ilmu apa pun, baik duniawi atau pun ukhrawi.
Oleh sebab itu, pantaslah apabila seorang santri mendapat predikat sebagai agen strategis untuk bangsa dan negara.
Dilihat dari aspek sejarah, santri ada karena pesantren. Adanya pesantren tidak terlepas dari penyebaran agama yang dilakukan walisongo di tanah Jawa.
Awal berdirinya pesantren juga mengacu pada gagasan atau ide dari Syekh Maulana Malik Ibrahim, yaitu dengan melakukan terobosan dalam sistem pendidikan Islam di Nusantara.
Hal ini dilakukan, sebab di masa sebelumnya sudah berdiri lembaga pendidikan Hindu-Budha dengan menggunakan sistem asrama sebagai tempat mengajar bagi para biksu yang memberikan bimbingan spiritual pada para muridnya (Kafrawi, 2000).
Oleh karena itu, ada beberapa elemen yang membedakan antara pesantren dan lembaga lainnya, antara lain (1) pondok: sebagai tempat menginap para santri, (2) santri: peserta didik, (3) masjid: sarana ibadah dan pusat kegiatan pesantren, (4) kiai: tokoh atau sebutan seseorang yang memiliki kelebihan dari sisi agama, dan kharisma yang dimilikinya, (5) kitab kuning: sebagai referensi pokok dalam kajian keislaman (Dhofier, 1982).
Dengan demikian, peranan pondok pesantren sangat diperlukan. Pasalnya, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah mencetak ulama serta santri yang kemudian menyebarkan pengetahuan keagamaannya ke seluruh pelosok negeri.
Selain itu pondok pesantren juga termasuk lembaga pendidikan dan social yang tidak pernah membeda-bedakan status sosial bagi calon santri maupun bagi tamu yang datang (Nizar, 2007).
Oleh karena itu, wajar apabila jumlah pondok pesantren dan santri di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Menurut Pangkalan Data Pondok Pesantren, jumlah pondok pesantren di Indonesia dari Aceh hingga Papua Barat mencapai 27.722, sedangkan jumlah santrinya mencapai 4.175.531 jiwa.
Sebab itulah, kini para jebolan pondok pesantren yaitu santri harus menjadi agen strategis dalam penyebar ajaran Islam yang penuh kedamaian dan kasih sayang.
Begitu pun santri harus menjadi sosok pendidik yang membimbing umat dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Maka tidak heran jika kini ada hari santri nasional yang ditetapkan langsung oleh pemerintah pertama kali melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.22/ 2015. Keputusan ini merujuk pada resolusi jihad yang dicetuskan oleh pendiri Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya.
Dengan demikian, ada beberapa catatan bagi santri agar bisa berperan secara efketif. Pertama, dalam bidang sosial keagamaan, yaitu berupa penanaman nilai-nilai keagamaan (Islam) yang mengarah pada pembentukan masyarakat Islami dan pembinaan moral yang ditanamkan sejak usia dini.
Kedua, sosial pendidikan, yaitu pembentukan kesadaran masyarakat untuk menuntut ilmu dan upaya melayani mereka dalam mencari ilmu dan keterampilan.
Ketiga, sosial politik, berupa pembentukan kesadaran berpolitik masyarakat dan mainstream politik terutama di level akar rumput yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah.
Keempat, sosial budaya, yaitu membentuk reformasi budaya menjadi budaya yang Islami atau bahkan menciptakan budaya-budaya baru yang bertolak dari nilai-nilai Islam.
Kelima, sosial ekonomi, yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan upaya pembentukan kelompok tani, pendirian koperasi serta pembentukan sentra-senta ekonomi skala kecil.
Tentunya, catatan sikap santri sebagai agen strategis tersebut dapat berjalan dengan baik apabila merujuk dan mengikuti sifat wajib yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Pertama, siddiq (benar/ jujur) yang berarti santri harus memberikan contoh yang baik, benar dan jujur, yaitu dengan perkataan maupun perbuatannya.
Kedua, amanah (terpercaya), yaitu seberat apa pun tugas yang didapatkan, santri harus bisa menjalankan tugas tersebut dengan amanah.
Ketiga, tabligh (menyampaikan) yaitu santri harus bisa menyampaikan perintah dan larangan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis, tentunya tanpa menyampaikan hal yang menyimpang, begitupun terkait hoaks.
Keempat, Fathanah (cerdas), yaitu santri harus pintar dalam bidang apa pun, sebab agar santri menjadi bijak ketika menghadapi problematika yang ada di masyarakat.
Selamat hari santri, semoga kita bisa menjadi agen strategis untuk bangsa dan negara.
Zainal Muttaqin, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga