RCCC UI Gelar Diskusi Bertema “Basic Income Untuk Alam dan Iklim”
Berita Baru, Jakarta – Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI) mengadakan diskusi mulai 26-30 April 2021. Kali ini, RCCC UI mengangkat tema “Basic Income Untuk Alam dan Iklim”, diskusi tersebut digelar secara virtual pada pukul 13.00-15.00 dan diikuti sekitar 80 peserta.
Acara tersebut merupakan rangkaian acara peluncuran Laporan Basic Income for Nature and Climate pada hari ketiga.
Kegiatan diksusi ini menghadirkan 4 pembicara dari berbagai latar belakang, yakni Abdul Ghofar (Keadlilan Iklim WALHI), Tata Mustasya (Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara), Fitriana Kurnia Wati (IndoBIG Network), serta Nur Rikazatul Luluk (Pemuda Tanah Papua).
Mengawali proses diskusi, Abdul Ghofar secara kelembagaan (WALHI, red) memulai dengan narasi pertanyaan tentang skema yang akan diberlakukan ketika Basic Income ini benar-benar terealisasi pada akhirnya, mengingat wacana tersebut menurutnya masih sangat minim di Indonesia.
“Saya berpandangan jika skema pengadaan dana dikonsep seperti Pengalihan Hutang, saya sepenuhnya bersepakat. Semisal Indonesia punya utang terhadap Jerman, dan Indonesia tidak perlu membayar utang tersebut sebagai kompensasi atas jasa Indonesia yang berkontribusi besar dalam menjaga stabilitas alam dunia. Atau Hutang Ekologis negara-negara dunia yang menjadi penyebab keeusakan emisi global, dimana dengan konsep tersebut negara-negara di dunia akan memberikan bantuan terhadap negara-negara yang masih stabil emisinya”, tegasnya.
Ghofat juga menanyakan kenapa tanah Papua yang diangkat dan kemudian dinarasikan sebagai Provinsi miskin. Ia berujar masyarakat salah persepsi soal Papua yang kaya raya itu secara alam. “Jika dalam konteks ini Papua diangkat untuk menuntaskan kemiskinan lewat Basic Income, saya mendukung gagasan ini. Gagasan ini adalah ide bagus sekalipun menuai pro kontra dan tantangan, tapi itu tidak soal agar terjadi dinamika dialektika matang dan pada akhirnya berbuah konsensu ,” pungkasnya.
Tata Mustasya yang menjadi pembicara kedua berpandangan bahwa Basic Income pada dasarnya adalah duperuntukkan untuk individu untuk memenuhi hak dasar, uang tunai diberikan yang kemudian individu tersebut menggunakannya untuk pemenuhan hak dasar mereka.
“Saya melihat Basic Income bisa menjadi the second best solution dalam jangka pendek serta menjadi rute baru menuju perubahan ekonomi-politik yang berkeadilan yang dalam hal ini berorientasi jangka panjang,” tuturnya.
Tata juga berpendapat bahwa Basic Income dapat memperkuat warga negara secara politik, ia mencontohkan dalam konteks Pemilu yang marak terjadi praktik money politics. Tata menilai jika Basic Income benar-terlaksana maka praktik money politics bisa direduksi atau bahkan hilang dalam dinamika politik Indonesia.
Lebih lanjut, Tata juga mengomentari soal penerapan Basic Income sub-national. “Basic Income sub-national seperti halnya di tanah Papua adalah memungkinkan, jika di level nasional tidak mampu, maka paling tidak di level provinsi. Hal tersebut dapat mendorong pemerataan dan daya tawar ekonomi masyarakat Papua,” tegasnya.
Sementara Fitriana Kurnia Wati berpendapat bahwa case di tanah Papua adalah persoalan serius dan Basic Income diyakininya sebagai salah satu solusi. “Jaminan pendapatan dasar untuk alam dan iklim terkhusus bagi masyarakat di tanah Papua adalah terobosan baru. Dengan pengelolaan lahan baik potensi atas dan bawah alam sehingga terhitung deviden yang dapat diperoleh masyarakat untuk jaminan sosial,” ungkapnya.
Fitri juga membahas tentang potensi dampak Basic Income terhadap lingkungan yang beberapa diantaranya adalah pengurangan jam kerja sehingga secara langsung mengurangi dampak lingkungan, daya beli miskin yang akan meningkat, perubahan gaya hidup dari material consumption menuju kewirausahaan sosial, serta dapat mendorong anak muda untuk kembali ke sektor pertanian dan menerapkan praktek produksi yang lebih berkelanjutan.
Pembicara terakhir diskusi tersebut, Nur Rikazatul Luluk, yang merupakan anak muda Papua memberikan pandangan kritis pada wacana Basic Income ini berdasarkan pengalaman sosio-kultural. “Saya masih menerawang seandainya Basic Income ini berlaku di tanah Papua, mereka mendapatkan uang tapi saya masih bertanya-tanya apa kiranya signifikansi uang tersebut jika tidak ada sarana. Mereka tetap akan membeli barang-barang dengan harga mahal yang saya lihat hanya akan membantu dalam jangka yang sangat pendek saja,” tuturnya.
Luluk menambahkan bahwa banyaknya suku di Papua bisa menjadi tantangan atau bahkan rintangan, ia menyebutkan bahwa beda suku bisa berbeda pola pikir, sehingga menurutnya jika Basic Income benar-benar mau inhin dihadirkan di tanah Papua sosialisasinya harus sangat maksimal agar terjadi kesamaan pola berpikir.
Lebih lanjut ia juga memperhatikan isu OPM yang demikian masif di Papua atau diluar Papua. “Isu OPM yang belum tuntas juga bisa menjadi satu hal yang dipikirkan, jika isu tersebut masih menguat maka dinamika penolakan terhadap Basic Income bisa tidak terhindarkan,” tuturnya.
Di akhir kesempatan bicara, Luluk menambahkan “Ditengah pro kontra dan tantangan dari Basic Income saya meyakini ini adalah satu gagasan yang baik dan tanah Papua membutuhkannya, tinggal memasifkan gagasan ini ke pemangku kebijakan dan saya berharap segera diwujudkan,” pungkasnya.