Wahid Foundation: Sekolah Adalah Ruang Publik
Berita Baru, Jakarta – Direktur Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan bahwa, sekolah merupakan ruang publik yang dapat diakses secara setara oleh berbagai kalangan.
“Artinya sebagai ruang publik, sekolah kita khususnya negeri itu harus bisa diakses oleh seluruh kelompok yang berbhineka itu secara setara, tidak ada diskriminasi, tidak ada favoritisme,” kata Mujtaba dalam webinar ‘Dinamika Isu Keberagaman di Lingkungan Pendidikan’, Rabu (3/3/2021).
Mujtaba menyebut, sekolah atau pendidikan khususnya pendidikan negeri itu adalah ruang publik. Ruang publik itu artinya segala kebutuhannya dibiayai oleh negara, dibiayai oleh pajak warga negara.
“Warga negara yang membayar pajak itu juga tidak pilih-pilih golongannya, etnis, agamanya dengan bentuk apapun, semuanya diberlakukan sama. Dan itu digunakan untuk ruang-ruang publik diantaranya pendidikan sekolah negeri,” ujar Mujtaba.
Menurut Mujtaba, topik mengenai sekolah adalah ruang publik menjadi penting untuk dibahas agar dapat mengokohkan kembali pandangan semua orang bahwa, pendidikan khususnya pendidikan negeri adalah ruang publik yang dapat diakses oleh berbagai kalangan.
Di kesempatan yang sama, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Hari Wuljanto mengatakan bahwa, pendidikan itu bukan untuk menambah pengetahuan melainkan untuk meningkatkan kualitas hidup.
“Jika pendidikan hanya sekadar menambah pengetahuan, silakan ke bimbel saja, tetapi fungsi pendidikan itu untuk better life, meningkatkan kualitas hidup, termasuk bagaimana menjaga keberagaman di antara kita,” kata Hari.
Menurut Hari, tujuan dari pendidikan nasional Indonesia itu untuk pencapaian sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. “Artinya fungsi memanusiakan manusia di dalam konteks ini harus tetap dikembangkan,” ujar Hari.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, ada beberapa akar masalah anti keberagaman di lingkungan pendidikan Indonesia. Pertama, pembelajaran di kelas memang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang.
Kedua, pembelajaran tidak didesain menghargai perbedaan. Ketiga, para siswa dan guru terjebak pada ‘intoleransi pasif’.
“Yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan keagamaan dan pandangan politik, walaupun belum berujung pada tindakan kekerasan. Namun, bisa terlihat dari postingan di media mereka,” kata Retno.
Retno menyampaikan rekomendasi kepada para guru dan kepala sekolah agar mereka menjadi model bagi para siswa dalam mempraktekan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan perdamaian.
Terakhir adalah rekomendasi para guru dan kepala sekolah ini harus menjadi model bagi para siswa dalam mempraktekan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan perdamaian.
“Kemudian ketika mengetahui ada siswa yang tidak mau upacara menyanyikan lagu kebangsaan, hormat bendera atau menyebut kafir dan sebagainya, seharusnya guru tidak membiarkan, namun si siswa harus didekati, diajak dialog,” tandas Retno.