Peneliti Indef: UU Cipta Kerja Potensi Gerus Pendapatan Daerah
Berita Baru, Jakarta – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai Undang-Undang Cipta Kerja Kluster Perpajakan berpotensi menggerus pendapatan asli daerah (PAD).
Pasalnya, menurut Riza kebijakan perpajakan dan retribusi daerah (PDRD) dapat diintervensi jika tak sejalan dengan agenda pemerintah pusat. Ketentuan terkait intervensi tersebut diatur dalam Pasal 156A UU Ciptaker.
“Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan perlindungan dan pengaturan yang berkeadilan, pemerintah sesuai program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah,” demikian bunyi pasal 156A.
“Ini akan berpotensi mengurangi PAD dari PDRD dan meningkatkan ketergantungan pada dana transfer daerah,” tutur Riza diskusi bertajuk Omnibus Law Klaster Perpajakan: Jurus Jitu Mendongkrak Investasi? yang digelar Indef, Senin (26/10).
Riza menjelaskan akibat lain dari deregulasi keuangan pemerintah daerah dalam UU Ciptaker juga akan membuat daerah kehilangan kemandiriannya.
“Karena secara implisit daerah tidak punya kewenangan lagi terhadap penetapan PDRDnya. Apa akibatnya? Maka nanti PDRD ini kan disesuaikan bukan mengacu kepala daerah tetapi pemerintah pusat, ” tuturnya.
Sementara itu, peneliti Indef M. Rizal Taufikurahman menyarankan agar pencabutan wewenang daerah dalam PDRD dalam UU Ciptaker dipertimbangkan ulang dan substansinya tetap sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009.
Menurutnya UU Cipta Kerja sebaiknya tidak perlu merasionalisasi pajak daerah dan retribusi daerah ke pemerintah pusat.
“Jadi semangatnya tetap desentralisasi, mendekatkan pelayanan masyarakat dan menyelesaikan masalah sesuai dengan daerah masing-masing,” katanya.
Menurut Rizal, potensi kehilangan PAD secara nyata akan mempengaruhi penurunan PDRB riil hampir di semua provinsi. Dalam simulasinya, penurunan PDRB riil di level provinsi beragam pada rentang minus 0,22 persen hingga minus 9,38 persen, di mana provinsi paling rendah di Indonesia Timur dan paling tinggi di mayoritas Pulau Jawa.
“Sehingga UU ini tidak menstimulus fiskal terdistribusi secara merata, justru penurunan terjadi dan dampaknya ke PDB nasional,” pungkasnya.