PP PMKRI Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Berita Baru, Jakarta – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PP PMKRI) mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat. Pengesahan undang-undang tersebut diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang dialami masyarakat adat, sekaligus mempercepat pengakuan dan perlindungan hutan adat.
Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman PP PMKRI, Alboin Samosir mengatakan RUU tersebut merupakan wujud dari Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang memisahkan antara hutan negara dengan hutan adat.
Selain memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, Alboin menilai dengan disahkannya RUU Masyarakat Adat juga merupakan wujud apresiasi dan terima kasih negera terhadap Masyarakat Adat yang selama ini masih memegang teguh nilai-nilai luhur kebangsaan dan berjuang mencegah deforestasi yang kian marak terjadi.
“RUU Masyarakat Adat ini akan mengingatkan kita sebagai bangsa yang betul-betul beradab dan berbudaya,” ujarnya kepada Beritabaru.co, Senin (31/8).
“Karena dengan diakui dan dilindunginya masyarakat adat, sesungguhnya kita sedang menyelamatkan bangsa ini dari infiltrasi budaya dan ideologi asing yang bersifat destruktif,” imbuh Alboin.
Alboin menuturkan, apa yang menjadi tuntutan pihaknya tersebut merupakan bentuk kepeduliannya terhadap penggusuran paksa dan tindakan represif terhadap Masyarakat Adat Besipae, Kabupaten Timur Tengah Selatan san Masyarakat Adat Kinipan, Lamandau, Kalimantah tengah turut menjadi korban dari pembangunan yang tidak berkeadilan.
“Effendi Buhing selaku ketua komunitas adat disana dikriminalisasi oleh pihak swasta dengan tuduhan melakukan pencurian, pemaksaan, dan perampasan,” tegas Alboin.
Kejadian tersebut, menurut Alboin hanya beberapa kejadian yang masih mencuat ke permukaan, karena di beberapa daerah, masih banyak lagi komunitas masyarakat adat yang membutuhkan pengakuan dan perlindungan dari negara.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan amanat konstitusi yang terdapat pada pasal 18B ayat (2),” katanya.
Selain itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sepanjang Januari hingga awal Desember 2019 setidaknya 51 anggota masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat Ada 279 konflik agraria di Indonesia 87 diantaranya berada di wilayah adat.
Alboin menilai, maraknya konflik yang dialami Masyarakat Adat berjalan searah dengan minimnya pengakuan hutan adat.
“Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat, sampai Agustus 2020, ada 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari keseluruhan wilayah tersebut baru 1,5 juta hektar yang sudah ditetapkan dan memperoleh pengakuan dari pemerintah,” tuturnya.
“Selain sudah dilindungi haknya oleh konstitusi, beberapa undang-undang sektoral juga sudah mengakomodir terkait dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” imbuhnya.
Namun, lanjut Alboin peraturan perundang-undangan ini masih saling bertentangan satu sama lain dan tidak mengatur secara komprehensif terkait dengan Masyarakat Adat.
“Akibatnya, semakin mengaburkan usaha-usaha dan perjuangan masyarakat adat untuk diakui hak-hak konstitusionalnya. Jalan panjang pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat tidak akan berlarut-larut seperti ini jika saja Pemerintah dan DPR mau mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat adat yang sudah tertunda sejak 2009 silam,” pungkasnya.