Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Greenpeace
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono

Soal Data Deforestasi, KLHK Sanggah Pernyataan Greenpeace



Beritabaru.co, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan tanggapan serius atas penyataan Greenpeace Indonesia, terkait angka laju deforestasi sebelum dan sesudah moratorium penundaan izin baru pada areal hutan alam primer dan lahan gambut.

Adalah Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono, kali ini yang menyampaikan sanggahan dalam siaran pers pada Minggu (11/8), di Jakarta.

Ia menegaskan bahwa moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut efektif mengurangi angka deforestasi. Jadi, ia membantah pernyataan Greenpeace Indonesia yang menyebut deforestasi semakin memburuk setelah adanya moratorium.

“Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk dasar statement itu. Begitupun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi citra atau apa yang mereka lakukan. Harus jelas rule base untuk interpretasi citra. Disitulah metodis atau tidaknya sebuah analisis spasial. Tidak sembarangan. KLHK menggunakan data resmi di bawah sistim pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi suatu sistim pemantauan”. Tutur Belinda.

Belinda mengatakan, luas Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) adalah 66 juta ha atau sebesar 35 persen dari luas daratan Indonesia, dan berada baik di dalam maupun luar kawasan hutan. Total areal bertutupan hutan di dalam PIPPIB adalah 52,3 juta Ha, atau setara dengan 79 persen. Sedangkan yang 31 persen tidak bertutupan hutan, karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savana, atau pun semak belukar alami.

Lebih lanjut Belinda mengungkapkan, total deforestasi periode sebelum moratorium (2003-2010) adalah 7 juta Ha (atau + 0.88 ribu ha per tahun), dan setelah periode moratorium (2011-2018) adalah sebesar +5.6 juta Ha (atau +0.7 ribu ha per tahun).

“Maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20 persen. Apabila hanya fokus pada areal moratorium saja (di dalam PIPPIB), analisa yang dilakukan dengan menggunakan sistim pemantauan yang sama, memberikan hasil bahwa terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38 persen, dari periode 2003-2010 seluas+ 1.9 juta ha (sebelum moratorium) ke periode berikutnya (2011-2018)”. Papar Belinda bersemangat.

Sementara itu menganai Karhutla, Belinda mengungkapkan, pada tahun 2019, Belinda menyampaikan bahwa total areal terbakar sampai dengan bulan Juli 2019 adalah kurang lebih 135 ribu Ha. Sebesar 77 persen dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dan sebagian besar atau 71 ribu Ha dari 135 ribu Ha terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dominasi savanna.

Dikatakan, kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam PIPPIB bisa ditekan hingga mencapai 0,8 persen khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99.2 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.

“Bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap Karhutla. Karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang. Bahkan saat ini hingga mencapai 1 persen dari total areal terbakar”. Kata Belinda.

Jadi, KLHK menyanggah penyataan Greenpeace Indonesia tersebut dan mengatakan itu cenderung ambisius.

Seperti diketahui sebelumnya, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik menyebut Instruksi Presiden penghentian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut belum cukup memiliki kekuatan untuk mengurangi deforestasi, sehingga pesimistis target penurunan emisi sesuai Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia akan tercapai.

“Kami pesimistis ini bisa mencapai target penurunan emisi 29 persen pada 2030 dan juga bisa mengurangi deforestasi”. Kata Kiki dalam keterangan pers tentang Inpres Moratorium Hutan dan Gambut 8 Tahun di Tengah Deforestasi dan Kebakaran Hutan di Jakarta, Kamis (8/8).

Berdasarkan kajiannya, Greenpeace Indonesia menyebut tutupan hutan yang hilang dari 2012-2018 di areal moratorium mencapai 1,2 juta hektare (ha), dengan rerata tahunan 137 ribu ha. Angka tersebut justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehilangan tutupan hutan sebelum moratorium diberlakukan dari 2005-2011 yakni mencapai 800 ribu ha, dengan rerata 97 ribu ha untuk area moratorium yang sama.

Selain itu, Kiki menyebut hanya 14,6 juta ha hutan dan gambut yang sebenarnya efektif dilindungi oleh moratorium tersebut. Sementara 51,3 juta ha atau 78 persen dari 65,9 juta ha areal moratorium lainnya yang ada dalam Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan hutan lindung dan konservasi, sehingga sudah dilindungi oleh regulasi lainnya.

Hal lain yang ditemukan Greenpeace bahwa perubahan Inpres moratorium pemberian izin di hutan primer dan lahan gambut yang pertama kali dikeluarkan di 2011 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga yang terbaru dikeluarkan pada era Presiden Joko Widodo diketahui 4,5 juta ha pernah dikeluarkan dari Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) dan 5,3 juta ha ditambahkan dalam peta.

Namun, kata dia, sebanyak 1,6 juta ha dari 4,5 juta ha area hutan yang dikeluarkan dari peta moratorium tersebut terdapat di area konsesi, mulai dari hutan tanaman industri (HTI), hutan pengusahaan hutan (HPH) dan tambang. [Soe/Aziz/Siaran Pers]