Ketika Aku Ingin Hanya Melihat Matamu
Ketika Aku Ingin Hanya Melihat Matamu
(Puisi: Deru Laut Utara)
Ketika Aku Ingin Hanya Melihat Matamu
Aku ingin melihat matamu lebih dalam
Menyelami rahasia senyum
yang disembunyikan kedip
pada tatap yang patah
sebelum kata terucap
menjadi bahasa buku
yang kau baca
Aku ingin melihat kita
bertatapan di balik jendela
diantara ranjang rawat inap
dan kursi tunggu
lalu bercerita tentang apa saja
yang membuat tawamu tumpah
di atas bantal yang setia
juga selimut yang mengerti
bahasa tubuh manusia
Aku ingin kita bertatapan
Melihat satu sama lain
Mengenali bahasa batin masing-masing
Sebagaimana suster-suster mengerti
Nyerinya jarum infus di pergelangan tanganmu
Dan seperti dokter juga paham
Betapa kau ingin segera sembuh
Dan tak ingin menambah jejak jarum
di punggung tanganmu
Kemudian aku tersenyum mendengarmu berucap sehabis mandi,
“aku berubah ya sus?”
“berubah dari rangger pink,” batinku.
Kulihat kau begitu tenang dan damai
Tanpa jarum infus yang kau nikmati nyerinya
sepanjang waktu di pembaringan
sebelum akhirnya aku beranjak pergi
untuk minum singgle espresso
di seberang rumah sakit
Sambil mengingat senyum dan tawamu
Kuakhiri balada ini untuk menghibur
sisa waktumu di kamar 513
juga sisa soreku di cafe kecil ini
Atas nama kata yang patah di hela nafas
sebelum menjadi bahasa kita bicara
Kukatakan padamu:
“Balada ini lahir
Ketika aku ingin hanya melihat matamu”.
Salemba, 24 Juli 2019
Kini Aku yang Tersenyum
Kini aku yang tersenyum
Pada bayangan wujud duniamu
Pada denting tawa magismu
Pada jejak langkah tabahmu
Pada apa saja di lingkupmu
Kini aku yang tersenyum
Pada tatapmu yang bersahaja
Pada bicaramu yang bijaksana
Pada cara dudukmu yang sentosa
Pada sambutmu saat aku bicara
Kini aku yang tersenyum
Melihat diriku sendiri yang takjub
Pada bayanganmu yang tenang
Menerima tata dunia baru yang tiba
Sebelum setiap kita siap menyambutnya
Aku masih tersenyum
Mengingat kejadian-kejadian tak terduga
Yang melanda bangsaku-bangsamu
Seolah semua hanya sandiwara
Yang bisa usai dan bermula kapan saja
Dan aku yang tersenyum disini
Masih ingin menuntaskan puisi ini
Berharap kelak kata-kata hidup lagi
Menjadi juru bicara zaman
Dan senyummu sebagai lambangnya
Jakarta, 5-6 Maret 2019
Percakapan tentang Gerimis
Di sebuah cafe menjelang petang
Filsuf itu duduk di kursi tepi jendela
Ia sendiri dan secangkir kopi
Dibacanya sebuah buku tentang Semesta
Mendung tiba dari selatan
Membawa hawa rindu langit
Pada tanah yang setia memandangnya
Pada tetumbuhan yang ia suburkan
Datang lelaki muda sendirian
Dibawanya wajah murung
Ke meja filsuf yang membaca
Tentang penciptaan dan ketiadaan
Sebelum lelaki duduk di kursi
Filsuf di hadapannya bertanya
“Kenapa wajahmu murung
Dan sedih berlebihan?”
Pemuda diam, termangu
Persis seperti kopi di cangkir
Yang mulai dingin
Semakin dingin
“Matamu berkata, kau terluka,” bisik filsuf
Sembari menutup buku semesta
Juga kedua matanya yang tajam
“Demikianlah adanya tuan,
Isi dadaku babak belur
Remuk diterkam kenyataan,”
Ucap pemuda tepat saat gerimis pecah.
Keduanya diam dalam kedip
mata yang sama
Keduanya saling tatap
Membaca ratapan yang sama
“Kamu rapuh, batinmu gaduh
Ratapan bukanlah jalan
Ia kesedihan yang membunuh
:kehampaan sempurna!”
Kata-kata meluncur dari bibir filsuf
seperti belati nancap di dada lelaki
Gerimis reda, angin lirih
Kopi semakin dingin
Sedingin dua wajah yang bertemu
Di atas meja perjumpaan
sebelum petang datang
Sebelum orang-orang pergi
Dengan nasibnya masing-masing
Filsuf itu berujar tenang dan dingin:
“Cinta adalah memberi
Tanpa berharap mendapatkan lebih”
“Terima kasih, tuan
Terima kasih telah memberi
Ketenangan kecil di sisi hidup saya!”
Ucap lelaki itu lebih dingin lagi
keduanya pun berpisah
tanpa saling berjanji
untuk bertemu lagi
Kota Banjar- Jakarta, 28 Februari – 8 Maret 2019
Deru Laut Utara, pecandu espresso, tukang cerita di kedai-kedai kopi, dan hobby membuat orang tertawa. Mukim di Jakarta sebagai prajurit kata-kata.