Manakala Kampus Menambang, Marwah Ilmu Pengetahuan Menggelandang
Opini: Banyu Bening Winasis
Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga
“Every disaster movie starts with the government ignoring a scientist”
Barangkali kalimat ini kerap terdengar sebagai senjata untuk mengkritik pemerintah apabila kebijakan yang diambil berujung malapetaka lantaran para pakar ilmu pengetahuan tidak memperoleh suara. Namun, bagaimana jika para pakar justru bekerja sama dengan pemerintah meski sama-sama mengetahui bencana di ujung terowongan nantinya?
Politik memang tidak dapat dipisahkan dari lini kehidupan apapun. Politik dapat hadir baik dengan undangan yang ia paksakan agar dia diundang maupun menjejalkan diri di tengah gemuruh kehidupan sehari-hari. Politik hadir untuk membekali lini ekonomi, hukum, budaya pengetahuan, dan sumber daya dengan modal bernama kekuasaan.
RUU Minerba sebagai Strategi yang Sama
Belakangan simpang siur wacana RUU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dalam rapat paripurna DPR Kamis (24/01/2025) lalu. Dalam rapat paripurna tersebut, terdapat usulan yang mewacanakan agar melakukan peninjauan kembali terhadap UU tersebut agar tidak hanya dikelola oleh Ormas melainkan juga oleh Perguruan Tinggi.
Sorotan dalam tulisan opini adalah tentang betapa wacana yang dimaksudkan tersebut semakin kentara dalam beberapa hal. Pertama, bahwa sebelumnya beberapa Ormas dengan basis suara dan pengaruh besar seperti Nahdlatul Ulama serta Muhammadiyah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan suatu langkah pendekatan diri pemerintah agar tidak berseberangan dengan kelompok dan organisasi yang rawan menjadi oposisi pemerintah. Dengan langkah pendekatan yang mesra ini, Ormas dapat lebih mudah untuk dibungkam dan dikendalikan pergerakannya lantaran telah diiming-imingi tambang.
Kedua, bahwa Perguruan Tinggi diwacanakan akan mendapat IUP adalah wacana yang sepenuhnya konyol. Sebagaimana strategi yang digunakan oleh pemerintah pada Ormas yang terbukti cukup efektif, strategi ini diusung agar Perguruan Tinggi yang memiliki kekuatan dari akademisi dan mahasiswa dapat dibungkam suaranya dalam upaya melontarkan kritik kepada pemerintah.
Pendidikan Dijamah Neoliberalisasi dan De-demokratisasi
Sebelumnya saya telah menulis paper dalam sebuah tim hingga membawanya dalam Konferensi Internasional di Taiwan yang menyinggung peran Negara versus Pasar versus Masyarakat. Poin yang saya tekankan pada salah satu sesi konferensi adalah bahwa Pendidikan Tinggi di Indonesia telah mengalami neoliberalisasi di mana Perguruan Tinggi tidak lagi diharapkan untuk menjadi ruang akademik dalam memperoleh ilmu pengetahuan melainkan alat pencetak sumber daya untuk dijajakan kepada perusahaan ketika lulus.
Hal yang dihadapi dalam kasus revisi UU ini bukan lagi langkah yang menyentuh ranah neoliberalisasi melainkan juga apa yang disebut sebagai de-democratization. Pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi dapat memukul mundur semangat demokrasi yang kerap dilanggar oleh pejabat pemerintah dan dilontari kritik oleh para sivitas akademika melalui policy brief hingga aksi demonstrasi.
Tentu ini membawa rasa khawatir di negara demokrasi seperti Indonesia karena Perguruan Tinggi selayaknya memiliki mimbar akademik yang bebas nilai dalam mengambil langkah dan sikap.
Bukan Tupoksi Perguruan Tinggi
Sedari awal, Perguruan Tinggi tidak didesain sebagai alat pencetak uang maupun pemulus pasar. Apalagi dalam hal ini apabila Perguruan Tinggi mendapat IUP maka mereka akan memuluskan jalan kekuasan politik.
Pada dasarnya, tupoksi dari Perguruan Tinggi adalah sesederhana menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa sivitas akademika memiliki fungsi untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta bertujuan untuk membawa kemajuan bangsa, peradaban, dan kesejahteraan umat manusia.
UU ini menyoroti bagaimana Pendidikan Tinggi pada dasarnya memang didesain agar tetap berada di koridor keilmuan agar dipergunakan sebesar-besar kepentingan nasional. Di satu sisi, terdapat bias di sini bahwa kepentingan nasional kerap kali disalahartikan sebagai apapun yang dilakukan baik maupun buruk adalah demi kebaikan negara. Pemahaman seperti ini adalah yang pada akhirnya membuat pernyataan dan kebijakan oleh pemerintah bertentangan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau sesederhana bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Perguruan Tinggi hadir untuk membawa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tanpa intervensi kepentingan tertentu bahkan untuk kepentingan keuntungan ekonomi sekalipun. Hal ini tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2012 bahwa Perguruan Tinggi baik itu negeri maupun swasta harus memiliki prinsip Nirlaba untuk menjaga integritas dari kepentingan ekonomi belaka. Perguruan Tinggi juga bukan merupakan badan usaha melainkan badan hukum (bagi beberapa Perguruan Tinggi yang sudah memperoleh status badan hukum) sehingga bukan tupoksinya untuk mengelola tambang sebagaimana pasal 38 UU No. 4 Tahun 2009 yang hanya tertera IUP hanya diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan.
Selain itu, pemberian IUP kepada perguruan tinggi dapat mengancam integritas pilar dari Perguruan Tinggi. Sebagaimana yang diketahui, Perguruan Tinggi memiliki pilar bernama Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pilar ini kerap kali sudah dikeluhkan oleh para dosen karena mereka tidak hanya dituntut untuk mengajar tapi juga aktif dalam meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat sekaligus. Sementara pendapatan sebagai dosen pada pilar pendidikan tidak begitu tinggi, hal ini menuntut dosen untuk mencari sumber pendapatan lain. Hal ini yang membuat kualitas pilar pertama yaitu pendidikan menjadi kurang optimal pada akhirnya.
Pemberian IUP kepada Perguruan Tinggi hingga melibatkan para dosen dalam pengelolaannha dapat mematikan pilar Tridharma. Hal ini membuat fokus dosen kemudian semakin terdistraksi karena memiliki beban kerja lain yang lebih menggiurkan secara finansial ketimbang mengajar mahasiswa. Lagipula, peran serta para dosen pada pengelolaan IUP tidak sejalan dengan semangat Tridharma. Apabila itu dikaitkan dengan pilar pengabdian masyarakat, memangnya masyarakat yang mana yang mereka abdikan kemudian kalau bukan pejabat dan aparat negara?
Terlepas dari kepentingan politik, terdapat banyak aspek lain yang membuat kebijakan untuk memberi IUP kepada Perguruan Tinggi ini kemudian akan berbahaya. Di antaranya masih terdapat kajian pada aspek lingkungan yang dapat semakin tercemar serta aspek hukum yang membuat peraturan perundang-undangan lebih mudah untuk diubah demi kepentingan tertentu.
Tugas dari sivitas akademika saat ini adalah untuk menolak alih-alih menerima IUP begitu saja. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mendukung lingkungan akademik yang unggul serta menjaga nilai-nilai demokrasi dan marwah intelektualitas ilmu pengetahuan.