LBH Semarang Kritik Keputusan UMP Jawa Tengah 2025 karena Dinilai Abaikan Putusan MK
Berita Baru, Semarang – Keputusan Penjabat (PJ) Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 menuai kecaman. Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 561/38, UMP Jawa Tengah 2025 ditetapkan sebesar Rp 2.169.349, naik 6,5% dari UMP 2024 yang sebesar Rp 2.036.947. Kenaikan ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menilai kebijakan tersebut mengangkangi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut mengamanatkan Gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
“Keputusan PJ Gubernur Jawa Tengah bertentangan dengan amanat MK. Padahal UMSP dan UMSK bertujuan memberikan perlindungan lebih adil bagi pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki risiko kerja lebih tinggi atau memerlukan spesialisasi khusus,” tegas Direktur LBH Semarang dalam pernyataan pers yang diterbitkan Selasa (17/12/2024).
LBH Semarang juga menyoroti proses pengambilan keputusan dalam rapat pleno pengupahan provinsi yang dipimpin oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah. Perwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh sempat mengusulkan pembahasan UMSP dan UMSK, sesuai dengan Putusan MK. Namun, usulan tersebut ditolak sepihak oleh pihak Disnaker dengan alasan belum ditemukan formulasi yang tepat dan terbatasnya waktu pembahasan.
Sebaliknya, unsur Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) justru menolak pembahasan UMSP dan UMSK dalam rapat tersebut. “Ini jelas upaya pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha, bukan pekerja,” ujar salah satu perwakilan buruh yang hadir dalam rapat tersebut.
LBH Semarang menilai bahwa keputusan PJ Gubernur Jawa Tengah tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum. Pasal 7 Permenaker 16/2024 dengan tegas mengatur bahwa Gubernur wajib menetapkan UMSP dan dapat menetapkan UMSK.
“Jawa Tengah menjadi satu-satunya provinsi yang tidak mengimplementasikan UMSP dan UMSK. Ini menandakan adanya itikad buruk dan persekongkolan jahat pemerintah daerah dengan pemodal,” tegas LBH Semarang dalam pernyataan resminya.
PJ Gubernur Jawa Tengah juga disebut masih menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, meskipun kedua peraturan tersebut sudah tidak berlaku pasca Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023.
“Jika pemerintah provinsi terus mengandalkan peraturan yang telah dibatalkan MK, maka ini adalah bentuk pembangkangan konstitusi. Hak-hak buruh yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 justru diabaikan,” ujar pengacara dari LBH Semarang.
Menurut LBH Semarang, keputusan tersebut berdampak pada kemiskinan struktural, terutama di sektor-sektor yang memerlukan perlindungan upah yang lebih tinggi. Penghapusan UMSP dan UMSK dianggap menghilangkan standar perlindungan yang sebelumnya diberikan kepada pekerja.
“Normalisasi kebijakan upah murah ini memperkuat kesenjangan sosial dan memperbesar kemiskinan struktural. Upah minimum Jawa Tengah masih menjadi yang terendah di Indonesia,” ungkap Direktur LBH Semarang.
Melihat kebijakan ini, LBH Semarang mendesak PJ Gubernur Jawa Tengah untuk:
- Menjalankan Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 dan menghentikan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi.
- Menetapkan UMSP dan UMSK Jawa Tengah, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 dan Permenaker 16 Tahun 2024.
Desakan ini juga mengingatkan pentingnya peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melakukan kajian berbasis data yang akurat. Data dari Dinas Perindustrian dan Penanaman Modal Jawa Tengah serta data BPS seharusnya digunakan untuk menentukan sektor-sektor mana yang membutuhkan UMSP dan UMSK.
Dengan kebijakan saat ini, LBH Semarang menegaskan bahwa pemerintah Jawa Tengah telah berpihak pada kepentingan pemodal dan mengabaikan hak-hak pekerja. Desakan kepada PJ Gubernur dan pemangku kebijakan lainnya terus bergulir seiring meningkatnya protes dari elemen buruh dan masyarakat sipil. “Ini bukan hanya soal upah, tetapi soal keadilan dan keberpihakan terhadap hak asasi manusia,” pungkas LBH Semarang.