Konflik Hamas Ungkap Dukungan Militer AS yang Bermuka Dua
Berita Baru, Kairo – Konflik Israel-Hamas yang telah berlangsung selama setahun di Jalur Gaza mengungkap sikap “bermuka dua” Washington di Timur Tengah. Di satu sisi, AS mengeklaim menyerukan perdamaian, tetapi di sisi lain, mereka memberikan dukungan politik dan militer yang tak tergoyahkan kepada Israel, menurut para pakar politik.
Konflik di Gaza kini telah memasuki tahun kedua. Konflik ini dipicu oleh serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas dan 250 lainnya disandera.
Merespons serangan tersebut, pihak Israel melancarkan operasi militer. Operasi yang masih berlangsung di Gaza ini telah menyebabkan 42.065 orang tewas dan 97.886 lainnya luka-luka, menurut angka yang dirilis oleh otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Kamis (10/10/2024), dikutip dari laman Xinhua News.
Sejak 8 Oktober 2023, Hizbullah dan tentara Israel telah saling membalas serangan di perbatasan Lebanon-Israel. Mulai 23 September, Israel mengintensifkan serangan udaranya di seluruh Lebanon dalam eskalasi yang berbahaya dengan Hizbullah, dan telah meluncurkan operasi militer darat “terbatas” di wilayah tersebut.
Laporan terbaru dari Lebanon menunjukkan bahwa serangan Israel telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan memaksa 1 juta penduduk di seluruh negeri mengungsi.
Sejak pecahnya konflik Gaza, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken telah melakukan kunjungan sebanyak 10 kali ke Timur Tengah. Kunjungan terbarunya berlangsung pada September lalu. Washington menyatakan bahwa mereka ingin memediasi sebuah kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk mengakhiri perang serta melakukan pertukaran tahanan.
Namun, di mata Barakat Al-Farra, mantan duta besar Palestina untuk Mesir, “Blinken telah mendukung Israel sejak hari pertama perang. Dia bahkan menghadiri pertemuan kabinet perang Israel,” kata Al-Farra kepada Xinhua. “Kunjungannya untuk mengakhiri perang ini gagal karena AS percaya bahwa Israel sedang mempertahankan diri, dan semua yang dilakukan Israel mendapat persetujuan AS,” ujar Al-Farra.
Selama setahun terakhir, pihak yang mengeklaim dirinya sebagai “mediator Timur Tengah” ini hanya berhasil mencapai gencatan senjata kemanusiaan sementara selama sepekan yang berakhir pada November tahun lalu. Setelah itu, Israel segera melanjutkan pengeboman di Gaza. Upaya-upaya mediasi selanjutnya tidak membuahkan hasil yang ideal.
Pada pertengahan Agustus lalu, AS, Mesir, dan Qatar mengakhiri diskusi selama dua hari di Doha, mengajukan sebuah proposal gencatan senjata baru untuk Gaza.
Para mediator menjelaskan diskusi tersebut sebagai sesuatu yang konstruktif dan mengatakan bahwa itu dilakukan dalam lingkungan yang positif. Namun, Hamas, yang tidak berpartisipasi secara langsung dalam perundingan Doha, menuduh Israel menambahkan syarat-syarat baru pada proposal yang telah didukung sebelumnya dan menyatakan keraguannya akan hasil perundingan tersebut. “Inisiatif itu gagal karena presiden AS tidak menekan Israel untuk mengimplementasikannya,” sebut Al-Farra.
“Mediasi AS bersifat bias terhadap Israel, dan Washington bukanlah mediator yang jujur dan netral.” katanya, seraya menambahkan bahwa tanpa dukungan AS, Israel tidak akan bertindak seperti yang mereka lakukan di Gaza dan sekarang di Lebanon.
Sebuah artikel yang dimuat baru-baru ini di situs berita daring The Times of Israel, yang mengutip laporan terbaru dari Brown University, menunjukkan bahwa bantuan militer AS kepada Israel sejak dimulainya perang Gaza telah mencapai setidaknya 17,9 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.658), jumlah terbesar dalam satu tahun.
Dukungan militer AS yang sangat besar terhadap Israel ini merupakan “bukti terbesar bahwa Washington tidak layak menjadi mediator untuk menghentikan perang ini,” ungkap Al-Farra. “Mediasi AS tidak tulus, terutama karena Washington mengadopsi sudut pandang Israel dan tidak memberi tekanan kepada Israel,” ujar seorang analis politik Mesir Mokhtar Ghobashy.
“Saya meyakini bahwa Washington memikul tanggung jawab besar atas kegagalan upaya-upaya mediasi, karena mereka tidak memiliki kemauan politik untuk membuatnya berhasil,” sebut Ghobashy. Washington “sepenuhnya bertanggung jawab” atas “agresi Israel di Gaza dan Lebanon,” imbuhnya.