Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pertumbuhan Ekonomi 8% di Era Prabowo Sulit Tercapai Tanpa Industrialisasi

Pertumbuhan Ekonomi 8% di Era Prabowo Sulit Tercapai Tanpa Industrialisasi



Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina dan INDEF menggelar diskusi panel bertema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi” pada Minggu (22/9/2024). Dalam diskusi ini, sejumlah pakar ekonomi menyampaikan analisis dan kritik tajam terkait tantangan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan dalam 8 Asta Cita Prabowo.

Eisha M. Rachbini, Direktur Program INDEF, memaparkan bahwa salah satu tujuan besar kebijakan ekonomi Prabowo adalah hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai ekonomi nasional. Namun, ia mengkritisi bahwa konsep hilirisasi dalam kebijakan ini belum cukup kuat.

“Hilirisasi, jika dilihat pada jurnal-jurnal internasional, masih sedikit digunakan untuk mengukur perubahan ekonomi dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasis manufaktur yang tinggi. Istilah industrialisasi lebih sering dipakai untuk mengukur kemajuan negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika,” jelas Eisha.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Indonesia pernah mencapai industrialisasi pada era Orde Baru dengan pertumbuhan mencapai 8–9%.

“Pada periode 1989 hingga 1996, industri manufaktur kita terus meningkat dari 19% menjadi 25%, dan ini mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, pada dekade terakhir kontribusi sektor industri terus menurun. Bahkan pada 2023 hanya tumbuh 18%, sangat rendah dibandingkan prestasi di tahun 80-an, menunjukkan tanda-tanda deindustrialisasi dini,” tambahnya.

Kualitas Pertumbuhan Lebih Penting dari Angka

Dalam paparan yang lain, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa meski target pertumbuhan ekonomi 8% tampak ambisius, pemerintah harus lebih fokus pada kualitas pertumbuhan.

“Sejarah mencatat Indonesia pernah mencapai pertumbuhan di atas 8% beberapa kali, namun hal itu disebabkan oleh boom minyak. Industrialisasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan,” katanya.

Ia juga mengkritisi arah kebijakan ekonomi yang lebih mengedepankan sektor jasa dibanding industri manufaktur. “Pemerintah tidak melihat industri sebagai faktor penting. Fokusnya lebih pada sektor yang kurang penting, sementara manufaktur terus mengecil. Akibatnya, industri jasa yang berkembang di Indonesia bergantung pada barang-barang impor, karena manufaktur lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan,” jelas Wijayanto.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, pengelolaannya belum optimal. “Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke-15 dalam cadangan minerba utama dunia, tetapi jika dihitung per kapita, kita hanya berada di peringkat ke-39. Ini menunjukkan bahwa sumber daya kita tidak cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya segelintir pihak, yakni oligarki,” ujar Wijayanto.

Guru Besar bidang Ekonomi Universitas Paramadina, Didin S. Damanhuri turut menyoroti kemunduran sektor manufaktur di Indonesia. Menurutnya, saat ini, pertumbuhan ekonomi kita sekitar 5%, tetapi pertumbuhan industri manufaktur hanya sekitar 4%, yang berdampak pada kesempatan kerja formal.

“Mereka yang tidak bisa masuk ke sektor formal akhirnya terpaksa bekerja di sektor informal,” ujar Didin.

Ia juga menambahkan bahwa Indonesia saat ini mengalami deindustrialisasi yang sangat radikal. “Pada akhir pemerintahan Jokowi, pertumbuhan industri manufaktur turun di bawah 18%. Meskipun ada hilirisasi, praktiknya hanya berlaku untuk sektor nikel, dan itu pun dengan kontroversi besar karena keterlibatan tenaga kerja asing dari China,” kata Didin.

Didin juga menegaskan pentingnya menetapkan kebijakan industrialisasi yang jelas untuk mendorong reindustrialisasi. “Indonesia sangat urgent dalam mendorong reindustrialisasi dengan menetapkan kebijakan industrialisasi yang didukung oleh stabilitas ekonomi makro, perbaikan iklim investasi, dan pembangunan infrastruktur yang relevan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti tantangan Indonesia dalam menghadapi revolusi industri 4.0, terutama dalam hal penguasaan perusahaan rintisan oleh pihak asing.

“Tidak adanya peran pemerintah dalam mendukung startup lokal menyebabkan mereka rentan terhadap PHK massal dan kehilangan daya saing di pasar global,” ujarnya.

Dalam forum tersebut, para pembicara sepakat bahwa industrialisasi adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, mereka juga menegaskan bahwa fokus tidak hanya pada angka pertumbuhan, tetapi juga kualitas pertumbuhan. Pemerintahan Prabowo diharapkan dapat menetapkan kebijakan industrialisasi yang jelas, mendukung industri manufaktur, dan memperbaiki iklim investasi untuk mencapai tujuan tersebut.

“Saya berharap pemerintahan Prabowo fokus pada kualitas pertumbuhan, bukan hanya mengejar angka 8% sebagai dogma. Industrialisasi adalah cara untuk mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan,” tutup Wijayanto.