Tujuh Langkah untuk Capai Pertumbuhan Ekonomi Optimal di Era Prabowo
Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina bersama INDEF menggelar diskusi panel pada Minggu, 22 September 2024, dengan tema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi”.
Dalam diskusi ini, Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, menyampaikan bahwa target pertumbuhan ekonomi 7-8% yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo sulit tercapai tanpa kebijakan strategis yang kuat.
Menurut Didik, Indonesia perlu menerapkan kebijakan “outward looking” untuk bersaing di pasar internasional dengan meningkatkan produktivitas hingga level global, bukan sekadar fokus pada pasar lokal. “Target kita adalah negara-negara maju dan berkembang yang berhasil lepas dari jebakan pendapatan menengah, seperti Malaysia,” ungkap Didik.
Ia juga menyoroti bahwa tantangan zaman sekarang berbeda dengan era 1980-an, dengan proteksi pasar yang lebih kuat di berbagai negara. Namun, Didik menilai ada peluang baru di pasar Asia Barat, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Afrika.
Didik menekankan ada tujuh langkah krusial yang harus dilakukan oleh pemerintahan Prabowo. Jika tidak, Indonesia akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi yang optimal. “Jika bisa tumbuh 6,5-7%, itu sudah baik. Tapi kalau hanya 5% ke bawah, kita akan terus terjebak di level pendapatan menengah,” jelasnya.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah menjaga stabilitas makroekonomi, termasuk fiskal yang saat ini dibebani utang yang besar. “Harus ada cara agar rasio pajak kita meningkat sehingga utang bisa dikendalikan,” tambahnya. Selain itu, Didik juga menyoroti inflasi, nilai tukar, dan suku bunga yang harus diatur lebih cermat oleh Bank Indonesia.
Langkah kedua adalah kebijakan perdagangan yang perlu diperbaiki. Didik menilai kebijakan kuota yang diterapkan saat ini tidak tepat sasaran dan memperlambat perdagangan. “Dulu di era Orde Baru, para duta besar diberi tugas untuk meningkatkan akses pasar. Jika ekspor naik, mereka dianggap berprestasi,” jelasnya.
Langkah ketiga, Didik menyoroti pentingnya negosiasi tarif dengan pihak luar, terutama terkait ekspor tekstil yang dikenai pajak dua kali lipat dibandingkan negara lain.
Keempat, industrialisasi harus diutamakan. “Faisal Basri tidak setuju dengan hilirisasi karena istilah akademisnya adalah industrialisasi,” ujar Didik, merujuk pada perlunya identifikasi produk ekspor yang bisa diindustrialisasikan, seperti kelapa sawit dan karet.
Kelima, peningkatan keterampilan dan transfer teknologi harus dilakukan secara serius. Menurut Didik, hal ini penting agar Indonesia bisa lepas dari ketergantungan pada bahan mentah.
Langkah keenam, Didik menilai produk seperti udang dan rumput laut memiliki potensi nilai yang jauh lebih tinggi jika diindustrialisasikan. Teknologi juga harus di-upgrade, bahkan jika diperlukan, diimpor dari luar negeri.
Didik menutup paparannya dengan menyoroti hasil studi Bank Dunia yang menunjukkan bahwa banyak negara terjebak dalam middle income trap. “Solusinya adalah inklusi teknologi dan pengembangan keterampilan. Ini yang harus kita kejar,” tutupnya.