Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Yustinus Prastowo (Foto: Dok. Ditjen Pajak)

Otonomi DJP, Perlukah?



Otonomi DJP, Perlukah?

Oleh: Yustinus Prastowo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA))

Opini, Wacana pemisahan Ditjen Pajak (DJP) dari Kemenkeu kembali menghangat. Penyebabnya tentu kontestasi politik karena para kontestan Pemilu mengusung (lagi) ide ini. Mari sedikit kita kenang dan elaborasi.

Untuk diketahui, ini bukan ide baru. Tahun 2014 Jokowi-JK mencantumkan pembentukan Badan Penerimaan Negara di dalam Nawacita. Saya, adalah pengusul dan pengusung ide ini, waktu itu bersama sahabat saya Binyo (Rawanda Wandy Tuturoong), Teten Masduki, dan Bu Sri Adiningsih melakukan kerja politik dan rancangan teknokratik ketika terlibat menyusun Nawacita ekonomi, dan berlanjut saat kami membantu Tim Transisi Jokowi-JK pasca Pilpres 2014 menyusun agenda pembangunan ekonomi 2014-2019. Seluruh rangkaian proses ini masih saya dokumentasikan dengan apik.

Dalam perkembangannya, ide ini pasang surut seiring wacana tax amnesty. Meski demikian, saya tetap memasukkan transformasi kelembagaan sebagai salah satu prasyarat penting bagi pembaruan sistem perpajakan pasca-tax amnesty. Proses politik pun bergulir melalui instruksi Presiden ke Menkeu Bambang Brodjonegoro dan berujung pada rancangan UU KUP yang diajukan ke DPR dengan memasukkan klausul pembentukan institusi pemungut pajak, dinamai Lembaga, yang terpisah namun tetap berkoordinasi dengan Kemenkeu.

Pembahasan RUU KUP pun mengalami pasang surut. Saya pernah dua kali diundang RDPU dengan Komisi XI DPR, di luar diskusi dengan para tenaga ahli DPR dan berbagai pihak. Pendirian saya tetap sama: transformasi kelembagaan harus dilanjutkan dan tuntas. Namun bukan tanpa tantangan: Apindo, Kadin, dan HIPMI kompak menolak, konsisten hingga saat ini, tentu dengan argumen dan alasan yang patut didengarkan juga.

Maka tugas politik hari-hari adalah melakukan diskursus yang lebih mendalam, tajam, elaboratif. Tantangan bukan lagi pada level ontologis yaitu “to be or not to be”, melainkan persuasi dan pertarungan dalam detail yang mampu menjawab secara meyakinkan pertanyaan dan kekhawatiran berbagai pihak.

Di tataran epistemologis, butuh diskursus yang mampu menjawab pertanyaan: jika kebutuhan masa mendatang adalah institusi yang kuat, maka prasyarat-prasyarat apakah yang musti disediakan? Di sini perlu penjabaran dalam detail mengenai struktur kelembagaan, model koordinasi-partisipasi, payung hukum, harmonisasi kebijakan fiskal, politik anggaran, kebijakan kepegawaian, dan lainnya. Ini yang seharusnya menjadi topik diskusi hari-hari ini.

Berikutnya tataran aksiologis atau etis. Standar dan kriteria etis apakah yang menjamin otonomi ini mampu menjadikan DJP kelak lebih kredibel dan akuntabel dan bukan sebaliknya? Hal yang paling sering dikhawatirkan oleh para wajib pajak adalah penguatan institusi menjadikan relasi otoritas-wajib pajak semakin timpang. Di sinilah wacana otonomi menemukan signifikansi dan urgensi untuk diuji. Apakah praktik perpajakan hari ini cukup kokoh untuk dijadikan titik berangkat? Sungguh kuatkah komitmen untuk berubah menjadi lebih baik? Skema apa yang paling mungkin disiapkan dan disediakan?

Sampai di sini saya kira semuanya cukup jelas. Lokus diskursus bukan pada perlu atau tidak otonomi, melainkan sejauh mana model dan prosesnya menjamin perbaikan dan kebaikan. Kini proses politik sedang berlangsung di DPR. Saat bersamaan sebaiknya tiap wacana (baru) atau agenda diarahkan pada langkah maju, yakni proses deliberasi yang terbuka, jujur, imparsial dan partisipatoris, menjawab beberapa pertanyaan epistemologis dan etis di atas. Ini sekaligus menyiapkan format inklusivitas sejak awal.

Tanpa fokus dan penajaman, saya khawatir kita tidak sedang bergerak ke manapun dan banyak membuang waktu percuma. Fakta objektifnya, DJP sudah sedemikian besar dan kompleks, juga menghadapi tantangan yang semakin berat. Jangan sampai ia tetap dibiarkan menjadi sapi tambun yang tak layak lagi dituntut untuk membajak sawah, atau kuda tua yang letih ditindih beban. Atau barangkali mobil 1000 cc dengan tongkrongan luar mirip MPV mewah.

Saya komit dan konsisten mengawal agenda ini. Meski terlibat cukup dekat dan intim di tahun 2014, praktis saya tetap orang luar yang berikhtiar mengawal. Tim Reformasi telah dibentuk dan bekerja, dan saya menjadi bagian yang tetap ingin memastikan kerja ini tuntas. Hemat saya, apa yang telah dan sedang dilakukan masih berjalan pada rel yang benar. Meski demikian, perlu rejuvenasi, butuh revitalisasi. Ini saatnya! Mari jemput sang kala dan memulai kerja lagi, dengan militansi sebesar cinta kita pada Ibu Pertiwi.

Jakarta, 4 April 2019.