Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini (Foto: Istimewa)
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini (Foto: Istimewa)

Catatan Didik J. Rachbini Terkait Nota Keuangan RAPBN 2025



Berita Baru, Jakarta – Guru Besar dan Ekonom Senior Indef, Didik J Rachbini menyampaikan pandangannya terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025. Didik menilai RAPBN 2025 memiliki tantangan yang cukup berat, terutama dalam aspek penerimaan negara yang dipatok sebesar Rp2.997 triliun. Mayoritas penerimaan ini diharapkan berasal dari pajak sebesar Rp2.490 triliun. Menurut Didik, meski target ini terlihat realistis berdasarkan tren penerimaan negara pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah masih menghadapi tantangan besar untuk mencapainya, terutama mengingat ketidakpastian global dan kondisi ekonomi nasional.

Didik menjelaskan bahwa kondisi ekonomi saat ini cukup berat, dengan daya beli masyarakat yang menurun dan kelas menengah yang tertekan. Jika pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar 5 persen, Didik menilai target penerimaan pajak ini sulit dicapai.

“Jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong hingga 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut lebih mungkin terealisasi,” ujarnya dalam sebuah catatan yang diterima Beritabaru.co, Sabtu (17/8/2024).

Lebih lanjut, Didik menjelaskan bahwa kebijakan makro dan struktur ekonomi, terutama dalam hal investasi dan perdagangan, akan sangat menentukan kemampuan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak. “Indonesia perlu mendorong investasi dan ekspor sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, namun kita masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina,” katanya.

Didik juga mengkritisi defisit APBN yang terus meningkat, dengan RAPBN 2025 memperkirakan defisit sebesar Rp616,2 triliun. Defisit ini, menurutnya, akan terus ditutupi dengan utang, yang semakin menumpuk sejak era pemerintahan Jokowi. “Kebijakan utang selama 10 tahun terakhir ini sangat agresif, sehingga warisannya akan terus terbawa hingga masa pemerintahan Prabowo,” ungkapnya.

Dalam catatannya, Didik juga menyinggung tentang janji politik yang memerlukan pengeluaran besar, namun penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada sulit dioptimalkan. Hal ini, menurutnya, akan memaksa pemerintah untuk terus menerbitkan surat utang negara yang pada gilirannya bisa merusak stabilitas ekonomi makro.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya reformasi struktural dan pengembangan sektor-sektor baru, seperti ekonomi digital dan ekonomi kreatif, untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak. “Sektor digital dan kreatif, termasuk pariwisata, merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan negara. Dengan berkembangnya e-commerce dan fintech, sektor ini harus menjadi fokus dalam penggalian pajak,” tambahnya.

Di sisi lain, Didik menekankan bahwa kemampuan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak akan menjadi faktor penentu dalam mencapai target penerimaan negara. “Reformasi perpajakan, termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak, harus terus dilanjutkan untuk mendukung pencapaian target,” pungkasnya.