Indonesia-Norwegia Serius Atasi Perubahan Iklim
Berita Baru, Jakarta – Indonesia sangat serius dengan komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim. Keseriusan negara dalam menghadapi isu perubahan iklim, tercermin melalui inisiasi ‘Indonesia’s FOLU Net Sink 2030’ dan rencana operasionalnya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya saat melakukan pertemuan bilateral dengan Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia (State Secretary of Norway’s Foreign Affairs Ministry) Erling Rimestad, di Jakarta pada Selasa (14/3).
“Sejak tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan berbagai kegiatan untuk percepatan implementasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya, dalam keterangan pers Biro Hubungan Masyarakat KLHK, dikutip Rabu (15/3).
“Diantaranya penyusunan Rencana Kerja, Sosialisasi di 6 regional dan tingkat daerah, serta penyusunan Rencana Kerja Daerah Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di seluruh Provinsi di Indonesia, dengan melibatkan pemangku kepentingan di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Direncanakan seluruh Rencana Kerja Daerah tersebut dapat diselesaikan pada Mei tahun ini,” sambung Menteri Siti.
Berbicara tentang Pembayaran Berbasis Hasil (Result-Based Payment/RBP) di Indonesia, Menteri Siti mengungkapkan aksi iklim Indonesia telah mendapat pengakuan internasional, begitu juga pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari hasil inventarisasi GRK yang terus menurun.
“Cara sistematis yang dilakukan sekarang, sebagian didukung oleh kerja sama kita sejak tahun 2010 tentang REDD+, yang ditandatangani pada tahun 2016 di Indonesia. Selanjutnya, kami terus meningkatkan kerja-kerja dan agenda selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan berbagai tindakan korektif. Untuk itu, sekali lagi saya menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Norwegia yang telah mendukung Indonesia,” ujarnya.
Data tahun 2020 menunjukkan penurunan emisi sebesar 47,28% dan untuk tahun 2021 sebesar 43,82%. Hal ini berarti jauh lebih tinggi dari target 41% untuk total emisi GRK sebesar 945,11 gigaton CO2e pada tahun 2020, dan 889,79 gigaton CO2e pada tahun 2021. Pencapaian ini tentunya signifikan untuk program berbasis hasil dan perdagangan karbon.
“Dari skema RBP, kinerja penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 577 juta ton CO2e telah dicapai pada periode 2018-2020. Angka kinerja ini bukan merupakan estimasi Pemerintah Indonesia sendiri, melainkan angka yang telah diverifikasi oleh UNFCCC pada November 2022, sebagai bentuk pengakuan atas kinerja Indonesia, termasuk dalam hal metodologi yang digunakan dalam menghitung estimasi capaian kinerja tersebut,” jelas Menteri Siti.
Tata kelola karbon untuk perdagangan karbon dalam dan luar negeri telah diatur dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022. Hingga saat ini, kementerian dan lembaga terkait terus mempersiapkan pengaturan dan langkah operasionalnya. Regulasi ini juga termasuk mengatur ketentuan peralihan bagi pelaku usaha yang telah melakukan perdagangan karbon sebelum keluarnya Perpres No. 98 Tahun 2021.
“Semua kegiatan perdagangan karbon, wajib didaftarkan ke Sistem Registri Nasional dan wajib mendapatkan Sertifikat Pengurangan Emisi melalui otoritas pemerintah. Saat ini, sedang disiapkan mekanisme Carbon Exchange. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak tertutup untuk investasi terkait karbon tetapi perlu mengatur tata kelolanya,” ungkap Menteri Siti.
Pada kesempatan tersebut, Wamenlu Norwegia Erling Rimestad mengatakan Norwegia telah lama menjadi mitra Indonesia dalam isu-isu iklim dan pengelolaan hutan di Indonesia. Secara khusus, dia menyatakan terkesan dengan keberhasilan Indonesia menurunkan laju deforestasi dengan angka terendah sepanjang sejarah.
“Sangat mengesankan, dan merupakan contoh yang bagus untuk diikuti negara lain,” ungkapnya.
Selanjutnya, pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang perkembangan kerja sama kedua negara dan berbagai isu terkini seperti restorasi gambut dan mangrove.
Kerja sama kedua negara akan terus diperkuat dalam upaya pengendalian perubahan iklim dan mengurangi emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya. Kerja sama internasional seperti ini juga sangat penting untuk melestarikan ekosistem dan mencapai ambisi iklim global di bawah Perjanjian Paris.