Koalisi Masyarakat Sipil Desak Kejati DKI Hentikan Kasus Haris Azhar dan Fatia
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mendesak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta agar menghentikan kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan yang melibatkan aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator KontraS
Fatia Maulidiyanti.
“Kami mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum. Jika tidak, maka kondisi ini semakin menunjukkan aparat penegak hukum turut menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan,” kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Selasa (7/3/2023).
Menurutnya, perkara tersebut kian tampak dipaksakan. Proses hukum yang memakan waktu sekitar satu tahun enam bulan memberi kesan keragu-raguan yang nyata dari kepolisian dan kejaksaan dalam melihat ada tidaknya unsur perbuatan pidana dalam perkara itu.
“Kami menilai, Penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini,” ujarnya.
Mereka menegaskan tindakan Haris dan Fatia tak dapat diproses hukum lantaran masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan.
Menurut koalisi kritik yang sah itu sebagaimana diatur Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Seharusnya kasus ini tidak berlanjut andai saja Kepolisian dan Kejaksaan tunduk serta taat pada Surat Keputusan Bersama Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang telah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan,” katanya.
Selain itu, surat keterangan Komnas HAM nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022 menyatakan Haris dan Fatia merupakan pembela HAM.
Mereka mengatakan apabila dihubungkan dengan kritik Haris dan Fatia yang terkait lingkungan di Papua maka keduanya dilindungi oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bunyi pasal tersebut yakni ‘setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata’.
Kemudian, Bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan apabila tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
“Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau sikap kritis rakyat terhadap pejabat publik tak boleh dibungkam aparat penegak hukum melalui penerapan pasal-pasal karet,” tegasnya.