Tabuh | Cerpen: Muhammad Syukry
Kali pertama suara itu terdengar ialah di suatu pagi yang berkabut…
Dug… dug… dug!
Hanya tiga kali, tak lebih. Kendati begitu, seluruh penghuni desa Bokonian—yang tersebar merata di sembilan dusun—dapat mendengarnya dengan jelas, seolah-olah suara itu berasal dari dalam kepala mereka sendiri. Karenanya, mereka lantas serentak memasang telinga dan mulai bertanya-tanya: siapa gerangan yang berpulang?
Di desa Bokonian—sebagaimana juga di desa-desa lain, selain menjadi penanda datangnya waktu salat, suara tabuh juga menjadi penanda adanya warga yang meninggal dunia. Maka selepas mendengar suara tabuh pagi itu—yang jelas-jelas bukan lagi penanda datangnya waktu Subuh, seluruh warga Bokonian serentak menunda segala aktivitas dan ganti bersiap-siap pergi melayat.
Kaum ibu bergegas membungkus beras atau teh atau kopi dengan kantong plastik. Kaum bapak sebagian melesat ke kamar mandi, sebagian langsung mengganti pakaian kerja dengan kain sarung, baju koko dan peci. Tak sampai setengah jam, semua sudah siap untuk berangkat.
Namun, tak ada yang langsung berangkat. Semua bergeming di rumah masing-masing sebab tak ada yang tahu ke mana mesti pergi melayat. Pengumuman terkait siapa yang berpulang—yang biasanya menyusul selepas suara tabuh, entah kenapa pagi itu tak terdengar. Begitu juga kabar dari mulut ke mulut, tak ada yang sampai.
Akhirnya, bagai telah bersepakat, serentak para tetua dari kesembilan dusun berangkat menemui Pak Marbut. Sebagaimana namanya, Pak Marbut adalah marbut di masjid jami’ desa Bokonian. Ia bertanggung jawab memukul tabuh dan menyampaikan pengumuman saat ada warga yang berpulang.
“Berpulang?!” Dari ambang pintu rumahnya, lelaki 64 tahun itu merespons pertanyaan salah seorang tetua dengan kening berkerut. “Setahu awak tak ada,” imbuhnya. “Atau awak saja yang tak tahu?”
Para tetua kontan saling pandang.
“Jangan bercandalah, Pak Marbut,” tukas seorang tetua. “Kalau tak ada yang berpulang, kenapa Pak Marbut memukul tabuh?”
“Memukul tabuh? Tak ada awak memukul tabuh,” sangkal Pak Marbut sengit. “Tadi memang ada suara tabuh, tapi bukan dari sini.”
“Bukan dari sini?”
“Bukan!”
“Terus dari mana lagi kalau bukan dari sini?!”
“Ya mana awak tau!”
Para tetua sebenarnya masih belum puas dengan penjelasan itu, tapi mereka sadar, tak mungkin dan tak ada gunanya juga Pak Marbut berbohong. Lelaki itu sudah belasan tahun menjadi marbut, dan selama itu ia selalu amanah dengan pekerjaannya. Maka tak ada alasan untuk tidak memercayainya.
Maka begitulah, meski dengan berat hati, satu per satu para tetua beranjak pulang ke rumah masing-masing.
Hari-hari berlalu. Perlahan warga Bokonian mulai melupakan suara yang tak jelas muasalnya itu. Bagi mereka, lebih penting memikirkan padi yang sedang subur-suburnya di ladang atau karet yang sedang asyik-asyiknya berdaun muda atau emas yang kian susah didulang, ketimbang memikirkan suara itu.
Tapi sepekan kemudian, saat seluruh warga Bokonian sudah benar-benar melupakannya, suara itu tiba-tiba kembali menggema. Kali ini bunyinya enam kali.
Dug-dug-dug… dug-dug-dug!
Sebagaimana sebelumnya, kali ini juga tak ada pengumuman atau pemberitahuan yang menyusul. Namun, seluruh warga Bokonian tetap memilih berhenti dari beraktivitas. Mulanya mereka memang sempat tergoda untuk mengabaikan suara itu, tapi pada akhirnya mereka lebih memilih jalan aman, yakni menunggu sampai ada kejelasan. Mereka percaya, mengabaikan suara tabuh yang mengabarkan kematian adalah satu perbuatan yang tidak baik dan dapat mendatangkan kesialan.
Maka kembali, bagai telah bersepakat, para tetua dari kesembilan dusun berangkat menemui Pak Marbut. Tentu kali ini mereka berharap yang terdengar itu memang benar-benar suara tabuh, bukan sekadar suara sesuatu yang mirip suara tabuh.
Namun, begitu bersemuka dengan Pak Marbut, mereka kembali mendapat penjelasan yang persis sama seperti sebelumnya: tak ada yang berpulang dan tak ada yang memukul tabuh.
“Ini keterlaluan!” seru salah seorang tetua. “Benar-benar keterlaluan!”
“Betul!” sambut tetua-tetua yang lain.
“Bagaimana kalau kita laporkan ke Pak Kades?”
“Setuju! Ayo kita laporkan ke Pak Kades.”
Pagi itu juga, selepas dari rumah Pak Marbut, para tetua langsung berangkat menemui Pak Kades. Di rumah Pak Kades, setelah bermusyawarah selama kurang lebih satu jam lamanya, putuslah satu kesepakatan: jika suara itu kembali terdengar, pemuda-pemuda dari kesembilan dusun akan dikerahkan untuk mencari sumbernya.
Sejak saat itu, sekonyong-konyong seluruh warga Bokonian menunggu-nunggu suara itu kembali terdengar. Mereka penasaran siapa gerangan yang sudah begitu lancang mengusik ketenteraman desa mereka. Dan mereka juga penasaran dari manakah kiranya suara misterius itu berasal.
Sebagaimana yang mereka harapkan, pada hari kelima setelah kesepakatan itu ditetapkan, tepat pada jam dan menit dan detik yang sama seperti sebelum-sebelumnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini bunyinya sembilan kali.
Dug-dug-dug… dug-dug-dug… dug-dug-dug!
Belum lima menit selepas suara itu terdengar, pemuda-pemuda sudah berkumpul di halaman balai desa Bokonian, berbaris rapi dengan aneka senjata, mulai dari parang, tombak, sabit, hingga rantai sepeda—entah untuk apa semua itu—tergenggam di tangan. Pak Kades yang datang agak terlambat lantas memberikan pengarahan.
“Tugas kalian sederhana,” serunya, “cari sumber suara itu sampai ketemu. Cari di setiap sudut dusun. Masuk ke hutan-hutan kalau perlu. Nanti laporkan hasilnya ke sini.”
“Siap!” jawab para pemuda kompak.
Pukul delapan pagi dilepas, lima belas menit sebelum Zuhur pemuda-pemuda itu kembali lagi ke balai desa. Tak ada yang menghilang atau tiba-tiba gila atau semacamnya. Semua kembali dengan jumlah dan kewarasan yang sama. Yang menghilang hanya gelora semangat di wajah mereka. Dengan tubuh bersimbah keringat, mereka bergelimpangan di halaman balai desa bak prajurit-prajurit malang yang kalah perang. Melihat itu, Pak Kades dan para tetua tahu usaha mereka sia-sia belaka.
Hari-hari berikutnya, alih-alih menghilang, suara itu justru semakin acap terdengar. Dari sepekan sekali menjadi lima hari sekali, lalu empat hari sekali, lalu tiga hari sekali, lalu setiap hari.
Meski pada mulanya amat terganggu, lama-kelamaan warga Bokonian belajar juga untuk terbiasa. Dan akhirnya, setelah sekian lama, tak seorang pun lagi di antara mereka yang peduli walau suara itu setiap pagi menggema.
Muhammad Syukry. Lahir di Muara Bungo, Oktober 1995. Cerpen-cerpennya pernah dimuat beberapa media cetak dan daring. Dapat dihubungi via Instagram @muhammadsyukry12.