Advokasi BPJS Watch Beri 5 Catatan Menyoal Permenaker Baru tentang Upah Minimum 2023
Berita Baru, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang penetapan upah minimum 2023.
Merespon hadirnya Permenaker 18/22 ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar memberikan 5 (lima) catatan. Pertama, ia menilai rumus baru kenaikan UM 2023 dalam Permenaker baru itu lebih baik dari rumus di pasal 26 PP 36 tahun 2021.
Diketahui, pada Pasal 6 Permenaker ini formula perhitungan kenaikan UM 2023 menjadi UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)). UM(t+1) adalah Upah Minimum yang akan ditetapkan. SementRa UM(t) merupakan Upah Minimum tahun berjalan.
Nilai UM, Penyesuaian nilai Upah Minimum yang merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa). Jadi Pasal 26 PP 36 tahun 2021 yang mengamanatkan formula kenaikan Upah Minimum (UM) diubah oleh Pasal 6 Permenaker no. 18 tahun 2022.
“Paling tidak dengan rumus baru ini kenaikan UM 2023 di atas inflasi yg terjadi di 2022. Namun UM 2023 akan diperhadapkan dengan inflasi 2023, sehingga Permenaker no. 18 ini belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun di 2023. Ini bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Formula ini berpotensi menyebabkan kenaikkan UM 2023 tidak otomatis lebih tinggi dari inflasi 2023,” kata Timboel Siregar dalam keteranganya kepada Beritabaru.co, Sabtu (19/11).
Kedua, rumus formula ini seperti PP 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Namun dalam rumus baru ini ada faktor alfa yang nilainya dalam rentang 0.10 sampai 0.30. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa tersebut.
“Mengapa harus ada nilai alfa? Apa dasarnya? Dan mengapa harus dibatasi antara 0.1 sampai 0.3? Kenapa tidak ditentukan misalnya nilai alfa antara 0.5 hingga 1 sehingga mendekati formula PP 78 tahun 2015,” ujarnya
Timboel Siregar kemudian memberikan simulasi terkait Permenaker baru ini. Sebagai contoh pada kenaikan UMP DKI jakarta 2023 berdasarkan nilai inflasi 4.61 persen dan pertumbuhan ekonomi 4.96 persen dengan asumsi nilai alfa 0.10 maka kenaikan UMP DKI 2023 adalah sebesar 4.61 persen + (4.96 x 0.10) = 5.10 persen.
“Kalau pakai nilai alfa 0.3 maka kenaikan UM 2023 sebesar 6.09 persen. Dengan dua simulasi ini, kenaikan UMP DKI 2023 akan diperhadapkan pada nilai inflasi 2023, yang nilai inflasinya bisa lebih tinggi dari kenaikan UM 2023,” urainya.
Ketiga, Timboel melihat Permenaker 18/22 ini hanya mengatur kenaikan UM 2023 saja, dan untuk tahun berikutnya akan kembali ke formula yang diatur di Pasal 26 PP 36 tahun 2021.
“Permenaker 18 tahun 2022 tidak memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundangan yang diatur di UU 13/2022 junto UU no. 12/2011. Permenaker ini tidak didiskusikan di LKS Tripartit Nasional, dan tidak ada argumentasi terkait aspek yuridis, sosiologis dan filosofinya,” jelasnya.
Keempat, Timboel juga melihat secara yuridis, formula dalam Permenaker ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 PP 36 tahun 2021. Oleh karenanya Permenaker ini seharusnya tidak bisa dijalankan.
“Hierarki peraturan perundang undangan sudah sangat jelas diatur di Pasal 7 ayat 1 UU 12 tahun 2011. Pasal 7 ayat 2 UU 12 tahun 2011 dengan sangat jelas menyatakan kekuatan hukum peraturan perundangan sesuai dengan hirarkinya sehingga isi Permenaker tidak boleh bertentangan dengan PP,” katanya.
Kelima, bagi Timboel Siregar seharusnya Presiden RI memperbaiki PP 36 tahun 2021 saja, dan hal ini akan berlaku untuk kenaikan UM di tahun tahun berikutnya, tidak hanya 2023.
“Seharusnya Permenaker no. 18 tahun 2022 bisa menjawab aspek sosiologis dan filosofis hadirnya UM, dan terimplementasi di tahun tahun berikutnya. Secara sosiologis apakah daya beli buruh tetap terjaga ataukah menurun. Rata-rata kenaikan UM 2022 dengan menggunakan Pasal 26 PP 36 tahun 2021 sebesar 1.09 persen jauh lebih rendah dari inflasi 2022, yang menyebabkan daya beli buruh turun,” terangnya.
Timbole menyebut, filosofi kehadiran UM adalah untuk memastikan buruh dan keluarganya tidak miskin. Buruh bekerja namun miskin, yaitu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layaknya.
“Saya berharap kenaikan UM di PP 36 benar benar diperbaiki daripada membuat permenaker yang cacat secara yuridis, karena melanggar kaidah hierarki peraturan perundang undangan, dan tidak menjawab aspek sosiologis dan filosofis,” katanya.
Ia pun mengusulkan agar revisi pasal 26 PP 36 tahun 2021 ini mengatur formula seperti PP no. 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan inflasi provinsi dan pertumbuhan ekonomi provinsi.
Namun walaupun harus menggunakan alfa seperti isi Pasal 6 permenaker 18/2022, nilai alfanya dalam rentang antara 0.5 hingga 1. Rentang ini harus di negosiasi dalam Dewan Pengupahan Daerah, dan direkomendasi ke Gubernur dan nantinya akan ditetapkan oleh Gubernur.
“Gubernur diberi kewenangan untuk menetapkan nilai alfa berdasarkan kondisi di wilayahnya sehingga gubernur benar benar memiliki kewenangan nyata dalam menetapkan kenaikan UM. Gubernur harus memperhatikan kondisi wilayahnya dalam menetapkan UM,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pasal 26 PP 36 tahun 2021 memposisikan Gubernur sebagai ‘robot’ untuk menentukan kenaikan UM. Kewenangan Gubernur menetapkan kenaikan UM yang diamanatkan UU Cipta Kerja (junto UU Ketenagakerjaan) disandera habis oleh Pasal 26 PP 36 tahun 2021, dan Dewan Pengupahan juga jadi tidak berdaya dalam menjalankan fungsinya.
Hadirnya nilai alfa dapat dimaknai sebagai upaya mengembalikan kewenangan gubernur dan fungsi dewan pengupahan serta menghadirkan kembali semangat dialog sosial diantara pelaku hubungan industrial, yang akan mendukung kenaikan UM tidak lebih rendah dari inflasi tahun berjalan.
“Ada putusan MK no.91 tahun 2020 yang menyatakan tidak boleh membuat keputusan atau regulasi turunan UU CK. Ini artinya Permenaker no.18 yang hadir mengatur tentang UM sudah melanggar putusan MK tersebut,” pungkas Timboel.