Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

Analisa Psikolinguistik Tudingan Dana Capres 300 Triliun dan Pernikahan Gaib Dirut Taspen



Berita Baru, Jakarta – Advokat Kamaruddin Simanjuntak menuding Dirut PT Taspen ANS Kosasih mengelola dana capres sebesar Rp300 triliun, hingga terlibat pernikahan yang gaib.

Tudingan tersebut telah dibantah oleh PT. Taspen melalui Corporate Secretary Mardiyani Pasaribu.

Mengingat tudingan ini sangat serius, pengacara ANS Kosasih, Duke Arie Widagdo berencana untuk melaporkan Kamaruddin Simanjuntak terkait pelanggaran UU ITE. 

Duke menyebutkan ada perbuatan pidana yakni melanggar pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Melalui fitur psikolinguistik, evello melakukan analisa terhadap berbagai kutipan pernyataan Duke Arie Widagdo di media pemberitaan. 

Founder Evello, Dudy Rudianto menyampaikan, analisa dilakukan untuk mengetahui kondisi psikologis dibalik cerminan pernyataan menggunakan kecerdasan buatan.

“Tudingan pengelolaan dana capres sebesar 300 Triliun dan pernikahan Gaib Dirut Taspen terdeteksi bersentimen negatif. Bahkan saat Duke merencanakan untuk melaporkan ke polisi atas pelanggaran UU ITE pun terdeteksi bersentimen negatif dengan skor 82%,” ungkap Dudy kepada Beritabaru.co, Minggu (28/8).

Menurutnya, dari berbagai pernyataan yang dikutip oleh media, pernyataan Duke selaku pengacara Dirut Taspen terdeteksi rasional. Dengan skor mencapai 99%, pernyataan Duke menunjukkan karakter personal yang obyektif dan pragmatis sekaligus bersandarkan pada fakta dan logika.

“Pernyataan-pernyataan Duke di media terdeteksi beremosi marah. Skor kemarahan 84% menunjukkan jika tudingan yang dilakukan oleh Kamaruddin berimplikasi sangat besar. Skor ini juga menunjukkan jika pihak ANS Kosasih tidak main-main dengan tudingan dana capres dan pernikahan gaib,” urainya.

Lebih lanjut Dudy menuturkan, Evello juga mendeteksi gaya komunikasi terkait rencana pelaporan pelanggaran UU ITE bertipe Self-Revealing dengan skor 91%. Gaya komunikasi ini menunjukkan jika rencana ini diterima oleh publik sebagai opini atau pendapat. 

“Dibutuhkan konsekuensi yang panjang untuk membalikan kondisi ini sehingga diterima oleh publik sebagai fakta,” pungkas Dudy.