Wayang Santri Karanggedang di Panggung Seni Kontemporer
Malam itu (21/08) sayup-sayup terdengar irama hadrah dari panggung ArtJog di bagian belakang Jogja National Museum (JNM). Sebagian publik mungkin mengira sedang ada hajatan perkawinan di tengah lokasi pameran seni rupa—terlebih para seniman yang tampil menyediakan teh dan jajanan tradisional untuk para pengunjung.
Pertunjukan malam itu memang berupa selamatan sebagaimana lazim dijumpai pada acara hajatan di desa: musik hadrah, pengajian, makan-makan, dan doa. Namun, Faisal Kamandobat dan para santrinya dari Sanggar Matur Nuwun, Pesantren Karanggedang, Majenang, Cilacap, mengembangkan ritual tradisional tersebut sedemikan rupa sehingga bisa menjadi bagian dari dunia seni kontemporer tanpa kehilangan tujuan asalnya.
Memasuki gedung pertunjukan, penonton akan dikejutkan oleh lukisan manuskrip kitab pegon berukuran besar, sekitar 10 x 2,5 meter. Kitab Mandala, demikian judul karya tersebut, adalah karya Faisal Kamandobat yang dibuat sebagai commission work dari Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta. Kitab Mandala merupakan sebuah kitab berisi doa-doa penyembuhan, sejarah rempah-rempah dan beragam metode pengobatan dari khazanah etnofarmakologi Nusantara.
Namun, lebih dari sekadar wawasan ensiklopedis terkait farmakologi tradsional, Faisal mengemasnya sebagai sistem mandala, yaitu model tata politik dan budaya Asiatik yang menekankan pentingnya keseimbangan dalam segala aspek kehidupan sebagai kontras dari pandangan Barat yang ekspasif dan kolonialistik. Dengan cara itu, manuskrip kitab pegon tidak hanya menarik secara visual, namun juga secara konseptual.
“Kalau manusia berekspansi ke angkasa luar dengan tetap membawa pandangan kolonialisme, kita hanya akan mengalami penderitaan seperti yang kita alami di bumi. Kitab Mandala adalah proposal artistik untuk mengatasi masalah itu,” tuturnya.
Pada panggung pertunjukan terdapat hiasan manuskrip lain dengan ukuran lebih kecil, sekitar 5 meter, berjudul Kitab Niat Ingsun, sebuah uraian tentang makna niat yang disarikan dari berbagai kitab syariat dan tasawuf dengan visualisasi khas masyarakat santri perdesaan. Dan tak kalah unik adalah adanya burung perkutut pada sepasang tiang di bagian kanan dan kiri panggung sehingga membentuk tampilan bersahaja dan khidmat. Terkait hal itu, perupa Ugo Untoro sebagai penata artistik layak pendapat kredit karena mampu menangkap semangat inti dari pertunjukan ini.
Tajuk pertunjukannya adalah Singir Sedulur Jagad. Faisal dan para santrinya menapilkan pertunjukan layaknya pengajian bandongan di pondok pesantren, namun materi yang diajarkan bukan ilmu agama melainkan seni rupa. Dalam menyampaikan materinya, Faisal seperti membaca suluk secara ritmis, spontan dan dinamis. “Terdengar seperti musik rap,” kata salah seorang penonton. “Apalagi dituturkan dalam bahasa Jawa Banyumasan yang ngapak. Terdengar unik.”
Dalam pengajiannya, Faisal bercerita bahwa sebelum tampil di panggung ArtJog, ia sempat bermimpi bertemu para “ulama dan aulia” seni rupa yang telah wafat, seperti Raden Saleh, Affandi, RJ Katamsi, Leonardo da Vinci, Sudjodjono dan lain sebaginya. “Mereka merasa kesepian di alam baka karena jarang dikirimi doa oleh murid-muridnya,” katanya, seperti berseloroh. “Jadi seni rupa perlu disampaikan menurut metodologi pengajaran di pondok pesantren di mana setiap kegiatan selalu dibuka dengan berkirim doa kepada guru-gurunya,” lanjutnya. Tujuannya agar ilmunya “berkah dan manfaat” serta “dapat dipertanggungjawabkan karena silsilahnya jelas sampai para nabi dan malaikat.”
Disela-sela suluk pengajian terdapat permainan musik hadrah untuk menyegarkan suasana. Beberapa lagu digubah liriknya agar sesuai dengan publiknya. Sebagai contoh: Ana gambar ingkang wiyar/rupane alam sing digelar/Unggal dina deleng pameran/karya senine Pangeran//Duh Gusti Pangeran kula/kula nuwun dintun maca/Werna huruf lan pertanda/sing rupae jagad raya. Indonesia: Terdapat lukisan begitu besarnya/berupa alam yang terkembang/setiap hari kita menyaksikan pameran/Karya seni ciptaan Tuhan//Tuhan, pangeranku/Aku mohon senantiasa dituntun membaca/bermacam-macam huruf dan pertanda/berupa luasnya jagad raya.
Adegan paling menarik dari pertunjukan Singir Sedulur Jagad ialah ketika Faisal Kamandobat mendemonstrasikan penulisan kitab di hadapan penonton dengan diiringi lantunan tembang macapat dari sinden Ridho Rohanah yang mempu menarik perhatian penonton dengan kemampuan vokal dan humor-humor kecilnya. Penonton seperti dibawa pada adegan goro-goro dalam wayang kulit di mana segala masalah diurai dengan santai, jenaka, sekaligus khidmat berkat lantunan doa dalam rupa aneka tembang.
Pada akhir pertunjukan, penonton menyaksikan kitab yang telah dibuat. Ilustrasinya berupa para malaikat bersayapkan dedaunan tengah memainkan alat-alat musik Jawa. Adapun isinya berupa penjelasan tentang malaikat dari berbagai pandangan ulama. Menurut Faisal, malaikat adalah tema yang penting dalam seni rupa, baik sebagai pembawa inspirasi dari Ilahi maupun sebagai makhluk cahaya. Dua hal tadi, inspirasi dan pencahayaan, sangat penting dalam seni rupa, sejak seni visual bermula hingga era kontemporer sekarang.
Dari pertunjukan Singir Sedulur Jagad oleh santri Karanggedang kita dapat melihat besarnya potensi khazanah pesantren untuk dikembangkan ke dalam berbagai format, tema dan audiens dengan cara mendiskusikannya dengan berbagai gagasan aktual dan inovasi mutakhir dari berbagai bidang. Terlebih perkembangan seni hari ini membuka kolaborasi antar manusia, tema, teknik, material dan gaya visual.
“Saya hanya membuka jalan untuk generasi santri yang lebih bersemangat dan penuh inisiatif,” kata Faisal Kamandobat, seniman yang juga salah seorang pengurus Lesbumi PBNU ini.
Turut hadir dalam pertunjukan itu para maestro seni rupa Indonesia seperti Heri Dono, Nasirun, Ugo Untoro dan Samuel Indratma, serta CEO ArtJog Heri Pemad, kurator Bambang Toko dan Sujud Dartanto. Kehadiran mereka membuat pertunjukan Singir Sedulur Jagad menjadi selamatan yang sempurna, di mana para tetua ikut serta dalam acara dan membacakan doa.
Penulis: Zahid Asmara, santri Pesantren Kaliopak dan mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya dan Media, UGM, Yogyakarta.