Warga Pulau Sangihe Demo Kantor Kementerian ESDM dan Kedutaan Besar Kanada di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Ratus warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara yang tersebar di Jabodetabek bersama masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Sangihe Island (SSI) menggelar aksi di depan kantor Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI (ESDM) dan Kantor Kedutaan Besar Kanada di Indonesia.
Dalam aksi yang digelar pada Kamis, 07 Juli 2020, itu menuntut Menteri ESDM menghentikan aktivitas dan mencabut izin operasi produksi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS), perusahaan pertambangan asal Kanada, yang kini mulai beroperasi di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Koalisi SSI merupakan wadah warga pulau kecil Sangihe yang dibentuk untuk memperjuangkan hak atas ruang hidup warga dan keselamatan Pulau Sangihe dari daya rusak tambang emas PT TMS.
Pulau Sangihe, salah satu pulau kecil terluar Indonesia yang juga berbatasan dengan Filipina dengan luas 763,98 km2 dan menjadi habitat alami burung langka terancam punah, yakni Seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) atau yang dikenal dengan nama lokal burung Niu hidup.
Warga Pulau Sangihe menggantungkan hidupnya pada sumber-sumber alami berupa pertanian di darat dan sumber daya perikanan dari pesisir hingga laut.
Pulau kecil ini juga dikenal dengan panorama laut yang indah, diapit oleh dua gunung api aktif bawah laut, salah satunya merupakan gunung api bawah laut tertinggi di dunia.
Di sisi lain, Sangihe yang berada di kawasan ring of fire, memiliki potensi tsunami dan gempa yang yang resiko ancamannya akan berlipat dan tidak dapat dihindarkan jika ruang hidup 139.262 warga Sangihe hancur oleh aktivitas pertambangan.
Keberadaan Pertambangan TMS jadi ancaman nyata bagi seluruh Kehidupan di sana baik yang di darat, maupun pesisir-laut hingga ruang udara.
“Hal ini layaknya bencana atau derita akan menimpa kita semua, akan tetapi tentu saja ini bukan cerita bencana alami, tapi bencana industri,” kata Jull Takaliuang, seorang inisiator SSI, dalam keterangan tertulisnya.
Kini lebih dari setengah luas Pulau Sangihe, yakni seluas 42.000 Ha, telah ditetapkan oleh Kementerian ESDM sebagai konsesi tambang PT TMS sejak Januari 2021 hingga Januari 2054.
Sementara Izin lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah Sulawesi Utara seluas 65,48 Ha. Mayoritas saham PT TMS sebanyak 70 persen dimiliki oleh Sangihe Gold Corporation asal Kanada.
Adapun sisanya dimiliki oleh perusahaan dalam negeri, yakni PT Sungai Belayan Sejati 10 persen, PT Sangihe Prima Mineral 11 persen, dan PT Sangihe Pratama Mineral 9 persen.
Selain itu, selama pengurusan Kontrak Karya, peningkatan status produksi, AMDAL hingga terbitnya Izin lingkungan, tanpa ada partisipasi masyarakat yang memadai.
Bahkan dalam praktiknya melanggar serangkaian peraturan perundang-undangan dan asas-asas hukum. Maka tidak heran aksi-aksi protes dan perlawanan gencar dilakukan warga untuk menolak keberadaan PT TMS.
Salah satu perlawanan warga melalui gugatan di ruang-ruang pengadilan. Pertama, Kontrak Karya PT TMS No. 163.K/MB.04/DJB/2021 digugat di PTUN Jakarta. Kemudian izin Lingkungan No. 503/DPMPTSPD/IL/IX/2020 yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Sulawesi Utara digugat di PTUN Manado oleh 56 perempuan dari Desa Bowone, Kepulauan Sangihe.
Gugatan Kontrak Karya PT TMS di Jakarta saat ini sedang menempuh upaya banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, karena pada tingkat pertama PTUN Jakarta menghindar dari membahas pokok atau substansi perkara dengan menyatakan PTUN tidak berwenang mengadili Kontrak Karya.
Namun, gugatan warga atas izin lingkungan PT TMS dimenangkan PTUN Manado pada 2 Juni 2022. Putusan PTUN itu membatalkan Izin Lingkungan PT TMS dan menunda pelaksanaan segala aktivitas PT TMS.
Berdasarkan putusan PTUN Manado ini, sesungguhnya PT TMS hingga saat ini tidak punya legitimasi secara hukum untuk dapat melakukan operasi pertambangan di Pulau Sangihe, sebab Izin Lingkungan sebagai dasar izin operasi telah dibatalkan oleh PTUN Manado.
Begitupun jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf K Undang-undang 27/2007 Jo. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir dan pulau kecil terlarang untuk aktivitas pertambangan mineral apabila menimbulkan konflik sosial dan juga kerusakan ekologis.
“Konflik sosial di pulau sangihe kian hari semakin terasa artinya secara sosial juga PT TMS lagi-lagi tak punya legitimasi,” ujar Samsared Barahama, pegiat lingkungan di Pulau Sangihe.
Alih-alih mematuhi putusan pengadilan. PT TMS justru melakukan pembangkangan. Pada Rabu, 13 Juni 2022, perusahaan tetap mobilisasi alat berat ke lokasi perusahaan di Kampung Bowone melalui Pelabuhan Panaru.
Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat TNI-POLRI. Namun akhirnya warga berhasil mengusir tiga unit alat berat tersebut dan segera dibawa keluar dari Pulau Sangihe pada 16 Juni 2022. Perusahaan jelas tidak memiliki izin, segala aktivitas yang dilakukan mereka harus dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.
Upaya PT TMS tak berhenti di situ saja. Robison Saul, salah satu warga Sangihe yang turut dalam aksi menghadang alat berat PT TMS sebelumnya, ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian resor Kepulauan Sangihe.
Pada 30 Juni 2022, Robison Saul menghadiri panggilan penyidik dan langsung ditahan pada hari yang sama. Robison dituduh membawa senjata tajam sebagaimana melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 karena diduga membawa pisau besi putih ketika melakukan penghadangan alat berat.
Padahal pisau besi putih tersebut merupakan benda pusaka yang diwariskan dari mertua laki-laki Robison. Pisau itu digunakan sehari-hari untuk melaut; memotong umpan, memotong tali jangkar, membersihkan tiram.
“Polres Kepulauan Sangihe jelas mengada-ngada tuduhan pidana terhadap Robison, dan kami menduga hal tersebut merupakan bentuk represifitas dan kriminalisasi terhadap pembela HAM lingkungan,” ungkap Jan Takasihaeng, Koordinator SSI.
Dalam aksinya, Koalisi SSI juga menyerukan agar Kapolri maupun Panglima TNI melarang jajarannya melakukan tindakan represif, melakukan intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga Pulau Sangihe yang memperjuangkan tanah kelahirannya dari daya rusak pertambangan, serta bebeskan pejuang lingkungan yang bernama Robison Saul yang saat ini ditahan oleh Pihak Polres Sangihe.
Sedangkan dalam aksinya di depan Kedutaan Besar Kanada, Koalisi SSI menuntut pemerintah Kanada mengaudit hingga menjatuhkan hukuman terhadap seluruh perusahaan pertambangan asal Kanada yang merusak lingkungan hidup dan menyebabkan konflik sosial di Indonesia pada kepulauan manapun, khususnya PT TMS di Pulau Kecil Sangihe. (mkr)