Thailand: Pemboman di Bulan Ramadan Tidak Menggagalkan Pembicaraan Damai dengan Pemberontak
Berita Baru – Pemerintah Thailand mengatakan pemboman yang terjadi pada bulan Ramadan di bagian selatan Thailand yang merupakan wilayah berpenduduk mayoritas Muslim tidak akan menggagalkan pembicaraan damai dengan pemberontak separatis, Minggu (17/4/22).
Sebelumnya kelompok pemberontak telah mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
“Dua ledakan pada hari Jumat (15/4/22), yang menewaskan seorang warga sipil dan melukai tiga polisi, dilakukan oleh “G5″, sebuah kelompok militan dari Organisasi Pembebasan Bersatu Patani (PULO),” kata Kasturi Mahkota pimpinan pemberontak tersebut sebagaimana dilansir dari Reuters.
PULO telah dikeluarkan dari pembicaraan antara Bangkok dan Barisan Revolusi Nasional (BRN), yang sepakat dua minggu lalu untuk menghentikan kekerasan selama bulan suci umat Islam hingga 14 Mei.
Lebih dari 7.300 orang telah tewas sejak 2004 dalam pertempuran antara pemerintah dan kelompok-kelompok bayangan yang mencari kemerdekaan untuk provinsi-provinsi Melayu-Muslim Narathiwat, Yala, Pattani dan sebagian Songkhla.
Daerah itu merupakan bagian dari kesultanan Patani yang dicaplok Thailand dalam perjanjian tahun 1909 dengan Inggris.
Negosiator pemerintah mengutuk kekerasan tersebut pada hari Minggu, tetapi mengatakan perjanjian gencatan senjata dengan BRN tetap berlaku.
Menurut mereka koordinator dari kedua belah pihak bekerja sama untuk mencegah pihak lain merusak pembicaraan.
“Menyatukan kelompok untuk dialog perdamaian adalah masalah internal bagi pihak lain, dan tim Thailand siap dan senang untuk berbicara dengan semua kelompok,” tulis delegasi pemerintah.
BRN menolak berkomentar.
Pembicaraan tersebut telah mencari solusi politik untuk konflik yang terjadi selama beberapa dekade di bawah kerangka konstitusi Thailand.
Pembicaraan sering terganggu sejak awal 2013. Putaran terakhir dimulai pada 2019.
Menurut Kasturi dari PULO pembicaraan tidak cukup inklusif dan berjalan terlalu cepat. Kelompok pemberontak menolak kesepakatan yang akan mengesampingkan kemungkinan kemerdekaan dari Thailand yang mayoritas beragama Buddha.