Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Alam: Kalau Merusak Lebih Mudah, Kenapa Harus Merawat
sumber gambar: peakpx

Alam: Kalau Merusak Lebih Mudah, Kenapa Harus Merawat



Abdul Rachman Sopyan


Mengeksploitasi alam adalah keharusan bagi kapital (Mavahed, 2016). Menebas leher pohon, menggunduli hutan adalah mutlak dan niscaya dalam logika kapital. Awalan, kita mesti memahami bahwa logika kapital selalu haus akan ruang, pasti ekspansional, itulah mengapa tidak ada kapitalisme tanpa memberangus ruang hidup. Gunung-gunung dikeruk demi emas tembaga, laut tercemar limbah minyak, sungai-sungai terisi plastik dan sampah. Iklim pun berubah, udara yang kita hirup mulai tercemar, setiap dari kita jadi mudah sakit, setiap dari kita pun kerap menyalahkan cuaca, padahal konsekuensi perubahan iklim di depan mata. Lantas, kita bertanya, apa pasal ironi ini terjadi? Dan apa artinya ekspansi modal memuaskan manusia, sementara lingkungan porak poranda.

Di Kota wisata Batu, Jawa Timur (kamis 4/11/21), alam kembali memperingatkan. Sungai meluap beserta isinya, ikan-ikan dan hewan di dalamnya bingung, karena mengapa lumpur, kasur, bambu, sampah dan batu tiba-tiba memberontak. Beberapa orang dikabarkan hilang, rumah-rumah rusak parah, jembatan putus, pipa saluran air tersumbat, hewan ternak hanyut, ladang berubah jadi padang lumpur dan hamparan sampah, tiang-tiang listrik ambruk. Dan satu persatu media sosial kita ramai bersuara #prayforbatu.

Meski polanya sudah bisa kita hafal; mula-mula muncul unggahan #prayfor…, lalu disusul dengan #opendonasi…, dan terakhir doa bersama. Pola ini tidak keliru. Justru yang keliru adalah ketika musibah terus berulang dan empati banyak orang mulai tercurah eh malah dimanfaatkan oknum politisi buat ramai-ramai mencari panggung.

Betapa kita menghafal rumus-rumus keempatian itu. Sebab “kita” sebagai manusia yang dididik untuk tetap beradab dan berkasih sayang kepada alam dan sesama manusia. Kita dididik untuk tetap beradab dan berempati pada penderitaan orang lain. Kita dididik untuk tetap “setia pada hati” dan tunduk pada nurani kemanusiaan.

Beberapa dari kita pun ada yang hanya akan terketuk hati dan pikirannya saat bencana melanda dirinya sendiri. Seperti penjahat yang berhenti merampok setelah anak dan istrinya harus mati karena dirampok. Atau seperti pejabat desa yang sadar menjaga ekosistem lingkungan setelah gerombolan monyet menyerbu desanya dan atap-atap rumahnya ringsek berselimut lumpur.

Namun, apakah setiap keputusan baik untuk menjaga lingkungan, atau sekadar membuat kebijakan yang pro terhadap lingkungan baru akan lahir setelah bencana datang? Atau perubahan-perubahan menuju lebih baik baru akan lahir setelah orang-orang yang dikasihi hilang nyawanya? Sepertinya tidak. Sebab setiap dari kita akan condong pada kebaikan bersama. Sementara jika ada yang nyeleweng dari nurani, perlu diperiksa ulang, sebenarnya siapa yang membimbing gerak laku kita. Apakah hasrat atas keuntungan, percepatan pendapatan ataukah keinginan atas popularitas lewat kebijakan yang lebih mengutamakan pendapatan.

Ada baiknya kita merefleksikan setiap musibah. Bencana alam adalah salah satu bentuk konsekuensi logis dari perkembangan pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan dan laba sebanyak-banyaknya bagi individu atau kelompok dengan tanpa mengindahkan kerusakan pada alam dan meningkatnya kualitas konsumsi pada individu. Bencana alam juga dapat menjadi pelajaran terbaik untuk membangun masa depan yang lebih baik, mengatasi kondisi kejiwaan korban, mengatasi pemulihan ekonomi secepat mungkin dan bagaimana mengatasi krisis sumber daya alam (Bănică, Kourtit & Nijkamp, 2020). 

Padahal, pengelolaan sumber daya alam tidak boleh berselingkuh dengan kepentingan akumulasi kapital. Kekayaan alam yang melimpah sebagai anugerah Tuhan ini sudah semestinya dapat menghadirkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, kira-kira demikianlah mandat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kemiskinan yang kian meningkat, degradasi sumber daya alam, berkurangnya ruang terbuka hijau kini telah menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam serta meningkatkan peluang untuk hidup miskin.

Kebijakan yang berorientasi jangka pendek tidak ramah pada lingkungan tidak cocok ada di tanah yang hanya dengan tongkat kayu bisa jadi tanaman. Apalagi sekadar memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat ekstraktif, mungkin warga planet Namex pun bakal menolak habis projek yang mengeruk sumber daya alamnya, kalau pun ada.

Kondisi inilah yang oleh Harvey sebagai bagian dari agenda neoliberalisme. Meminjam pandangan David Harvey di dalam karyanya “A Brief History of Neoliberalism”, di mana baginya pada periode neoliberal yang saat ini kita bersama rasakan ialah merupakan bentuk-bentuk baru dari accumulation by dispossession yang berlangsung melalui proses privatisasi badan usaha milik negara dan publik, komodifikasi tanah dan sumber daya alam, finansialisasi yang dilakukan berbagai macam badan keuangan internasional dan nasional, kebijakan mengatasi krisis-krisis finansial, ekonomi, politik, sosial, demikian juga bencana alam, bahkan hingga bentuk-bentuk privatisasi asset milik negara. Singkatnya, Neoliberalisme adalah pemahaman manusia yang menekankan pada dominasi kepemilikan pribadi, baik itu dalam hal jaminan kemerdekaan, kebebasan individu melalui pasar bebas ataupun perdagangan bebas.

Kebebasan pasar dan kepemilikan pribadi yang kebacut ini kemudian bisa kita lihat dampaknya di tempat-tempat yang semestinya menjadi ruang terbuka hijau dan resapan air justru malah berdiri bangunan dan bahkan dieksplorasi alamnya. Rencana tata ruang wilayah diotak-atik sedemikian rupa agar pihak-pihak investor tidak kabur. Warga yang kritis dan menolak ditekan lalu ditakut-takuti, setelah gagal menekan dan menakut-nakuti para warga pun dibuat saling tidak percaya. Kehijauan dan kelestarian alam tak dapat diraih, saling curiga dan kerusakan lingkungan tak dapat ditolak.

Bencana alam kemudian membuat banyak orang gugup dan gagap untuk menghubungkannya dengan problem kebijakan, struktural dan iktikad baik pemerintah dalam memperbaiki lingkungan. Sekalipun persoalan kultural dan psikologi-sosial juga menyumbang adanya bencana namun itu bukanlah satu-satunya.

Pernahkah Anda diamuk penjaga tempat pembuangan sampah rumahan lantaran Anda yang bukan warga terdaftarlalu membuang sampah di tempatnya?

Saya dan beberapa kawan yang pernah bernasib sama pun pernah punya pengalaman itu. Penjaga tempat pembuangan sampah umum malah marah-marah karena tidak mau ada sampah yang masuk selain dari warga yang bayar iuran. Ini kejadian kocak buat saya dan beberapa kawan yang mengalami hal serupa. Niat baik membuang sampah pada tempatnya malah mendapat teguran. Mungkin, kejadian macam itu juga yang buat banyak orang membuang sampah di sungai. Mendingan buang di sungai, ketimbang harus ketemu si penjaga model begitu.

Problem pola membuang sampah di masyarakat adalah problem lokal-kultural, akan bisa diubah jika aksesnya jelas, aturannya ada dan cara pandang pembuat kebijakannya pro pada lingkungan.

Bencana alam bukan sekadar persoalan malasnya warga membuang sampah, apalagi karena curah hujan yang tinggi. Gelombang banjir bandang memang datang dari kaki gunung, tapi keputusan dan kebijakan yang mengelola preventif gejala alam ada di gedung-gedung pemerintahan. Memilih dan menetapkan keberpihakan pada manusia dan etika lingkungan hidup memanglah berat, karena yang mudah hanyalah “bacot”.


Penulis adalah Warga Malang, menyelesaikan Pendidikan Magister di Univesitas Muhammadiyah Malang dengan konsentrasi pada Studi Interseksi Syariah dan Hak Asasi Manusia.