Rusia: Pengiriman Sistem Rudal THAAD AS ke Ukraina Mempersempit Solusi
Berita Baru, Internasional – “Potensi pengiriman sistem rudal anti-balistik THAAD AS ke Ukraina kian mempersempit solusi atas krisis,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov. Ia juga menambahkan bahwa Moskow mendesak untuk menghindari “kebodohan” tentang masalah tersebut.
Pernyataan itu muncul di tengah kebuntuan antara Kremlin dan Barat mengenai daftar tuntutan keamanan yang dibuat otoritas Rusia tahun lalu, yang menurut Moskow diperlukan untuk meredakan krisis di Ukraina dan menurunkan ketegangan di Eropa.
Ryabkov, seperti dilansir dari Sputnik News, menyatakan bahwa Kremlin telah menanggapi proposal balasan Amerika tentang latihan militer dan de-eskalasi dengan serius, tetapi menekankan bahwa Rusia ingin memahami apakah Washington siap untuk melakukan pembicaraan serius tentang non-ekspansi NATO.
“Negosiasi tentang jaminan keamanan tergantung pada kesiapan Amerika untuk membahas masalah ini,” kata Sergei Ryabkov menekankan.
Diplomat itu menyatakan bahwa jika Gedung Putih siap untuk memulai diskusi substantif tentang non-ekspansi NATO, maka Moskow akan menerima proposal AS untuk inspeksi pangkalan pertahanan udara aliansi di Rumania.
Ryabkov juga menyinggung masalah diplomat AS yang meninggalkan Rusia, menyalahkan atas pengurangan staf kedutaan di Washington.
Desember lalu, Kremlin mengeluarkan daftar tuntutan keamanan, yang menurut otoritas Rusia akan meredakan krisis di Ukraina dan menurunkan ketegangan di Eropa.
Tuntutan tersebut termasuk veto resmi atas bergabungnya Ukraina dengan NATO, pembatasan pengerahan senjata dan pasukan ke sisi timur aliansi, penolakan untuk menyebarkan sistem senjata serang di dekat perbatasan Rusia, serta pengembalian pasukan NATO sebelum perang.
Presiden Vladimir Putin telah berulang kali menyebut bahwa AS telah melanggar janji untuk tidak memperluas aliansi yang dibuatnya dengan mantan kepala negara Rusia pada 1990-an. NATO sejak itu menolak sejumlah tuntutan Kremlin, termasuk larangan Ukraina menjadi anggota aliansi, mengatakan bahwa itu adalah negara berdaulat dan bebas untuk membuat perjanjian keamanan.
Sejak 214, ketika Presiden Viktor Yanukovich digulingkan setelah protes mematikan – yang oleh Kremlin disebut telah didukung Barat – antara Moskow dan Kiev bersitegang.
Hubungan semakin memburuk setelah Krimea menjadi bagian dari Rusia menyusul diadakannya referendum publik pada tahun 2014, yang belum diakui oleh mayoritas masyarakat internasional.
Masalah pelik lainnya antara Moskow dan Kiev adalah gerakan separatis di wilayah timur dan selatan Ukraina, yang mengakibatkan perang antara wilayah Donetsk dan Lugansk dan seluruh negeri. Kiev menuduh Rusia mendukung republik yang memproklamirkan diri, klaim yang dibantah Moskow.
Amerika Serikat baru-baru ini mengklaim bahwa Rusia sedang mempersiapkan “invasi” ke Ukraina, menunjuk pada sejumlah besar pasukan yang konon telah dikumpulkan Rusia di daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan Ukraina. Awal bulan ini, Gedung Putih menyatakan bahwa Moskow diduga merencanakan serangan bendera palsu yang akan digunakan untuk membenarkan kampanye militer terhadap tetangganya. AS tidak memberikan bukti untuk menguatkan klaimnya.
Moskow menolak tuduhan itu dan mengatakan bahw apihaknya tidak merencanakan serangan apa pun, sambil menekankan bahwa gerakan itu adalah bagian dari latihan militer dan memiliki “hak berdaulat” untuk memindahkan pasukan di wilayahnya sendiri. Awal pekan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di Rusia untuk melakukan negosiasi dengan Presiden Putin