Pandemi, Begini Kisah ‘Ghassal’ di Turki yang Tetap Memandikan Jenazah
Berita Baru – Hampir dari separuh hidupnya Eda Elal telah terbiasa untuk bekerja menyiapkan jenazah sebelum penguburan sesuai dengan syariat Islam.
Namun, ia mengatakan pekerjaannya sebagai “ghassal” di Turki tidak pernah lebih sulit dari ketika ia harus tetap memandikan jenazah bersama dengan virus yang membanjirinya selama pandemi COVID-19.
Elal mengatakan rasa kewajiban spiritual membantunya terus melakukan ritual pengurusan jenazah yang umum meskipun kelelahan dan ketakutan, terutama ketika dia sendiri harus terpapar COVID-19 tahun lalu.
Sebagaimana ritual pengurusan jenazah secara Islam di negara lain, di Turki ghassal berdoa sambil memandikan jeazah, sebelum menempatkannya di kain kafan putih untuk penguburan.
Jenazah akan tiba dari rumah sakit atau rumah mendiang ke kabin cuci, yang disebut “ghassilhane”, di mana pria memandikan jenazah pria dan wanita mencuci jenazah wanita.
“Saya telah menjadi ghassal selama 16 tahun. Saya belum pernah melihat begitu banyak orang mati bersama. Saya tidak pernah memandikan begitu banyak mayat dalam satu hari. Kami kelelahan,” kata Elal, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (7/2/22).
“Percayalah, mendapatkan COVID lebih sulit daripada memandikan seseorang yang meninggal karena COVID. Karena Anda sendiri yang sakit, Anda melakukan pertempuran hidup dan mati,” katanya.
Ia menambahkan bahwa dia harus melewati beberapa waktu karena dia tidak bisa pergi, selain itu dia juga merasa takut akan terinfeksi kembali.
Istanbul, kota terbesar di Turki berpenduduk sekitar 16 juta, memiliki 243 ghassal yang bekerja di 16 kabin cuci yang dikelola dan didanai oleh pemerintah kota, dan menyediakan layanan secara gratis.
Elal mengatakan dua ghassal biasanya membasuh lima mayat setiap hari sebelum pandemin, namun jumlah itu melonjak mencapai 40 jenazah selama hari-hari terburuk pandemi.
Kematian COVID-19 harian Turki mencapai puncaknya mendekati 400 pada Mei tahun lalu, dan sekarang berada di bawah 200.
Ghassal lain bernama Ceyhan Tunc, mengatakan mereka panik ketika pandemi dimulai dan berdebat tentang bagaimana melanjutkan pekerjaan mereka agar tetap aman.
“Ini masalah hati,” kata Tunc, yang telah bekerja selama lima tahun.
Elal dan Tunc mengatakan pekerjaan yang menuntut lebih merupakan tanggung jawab bu sumber pendapatan.
“Kami mencoba melihat ini bukan dari sudut pandang uang dan pekerjaan, melainkan dari kewajiban agama,” kata Elal.
Elal mengatakan ayah dan suaminya pada awalnya tidak mendukung keputusannya, pada usia 17, untuk menjadi ghassal.
Tapi sekarang keluarga adalah dukungan moral terbesarnya.
“Saya tidak pernah menyesal melakukan pekerjaan ini karena mempersiapkan jenazah adalah pelayanan terakhir bagi seseorang. Iman dan jiwa saya terpuaskan,” tambah Elal.