300 OMS Soroti Kemerosotan Demokrasi dan Penyempitan Ruang Sipil
Berita Baru, Jakarta – Sebanyak lebih dari 300 perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berkumpul dalam acara Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2024 yang digelar pada 25-26 September di Jakarta. Mereka menyuarakan keprihatinan atas semakin memburuknya kondisi demokrasi dan menyusutnya ruang sipil di Indonesia. Salah satu isu yang paling menonjol adalah meningkatnya represi terhadap gerakan masyarakat sipil.
Lusty Ro Manna Malau, pendiri organisasi Perempuan Hari Ini, berbagi pengalamannya terkait kekerasan dan intimidasi yang diterima karena aktivitas advokasi yang dilakukannya. “Beberapa organisasi di Medan pernah diserang dengan bom molotov setelah membahas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Cipta Kerja,” ungkap Lusty saat pertemuan di ICSF. Selain itu, Lusty juga menyebutkan bahwa OMS di Medan menghadapi serangan peretasan gawai serta pembatasan kebebasan berekspresi, terutama perempuan dan minoritas gender, melalui peraturan daerah. Ia menekankan perlunya fokus pemerintah pada implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan dukungan terhadap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta RUU Masyarakat Adat.
Kondisi demokrasi yang memburuk di Indonesia juga tercermin dari data The Economist Intelligence Unit, yang menunjukkan bahwa Indeks Kebebasan Sipil Indonesia pada tahun 2023 turun drastis menjadi 5,29 dari sebelumnya 6,18 pada 2022. Kebebasan pers juga merosot 11 peringkat, menempatkan Indonesia di posisi 108 dari 180 negara. Situasi ini membuat para OMS sepakat bahwa tindakan kolektif harus diambil untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Tunggal Pawestri, Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, menekankan pentingnya mengaktifkan dan memperkuat gerakan masyarakat sipil secara berkelanjutan. Menurutnya, sering kali pemerintah berbicara tentang inklusivitas dan partisipasi yang bermakna sebagai syarat demokrasi, tetapi praktiknya justru jauh dari itu. “Gerakan rakyat seperti ‘Peringatan Darurat’ untuk menolak revisi UU Pilkada menjadi sangat penting,” ujar Tunggal.
Selain mendiskusikan isu-isu demokrasi, OMS juga melakukan refleksi atas kontribusi mereka terhadap pembangunan Indonesia serta berdiskusi mengenai empat skenario masa depan menggunakan kerangka dari CIVICUS, sebuah organisasi nirlaba internasional. Fransisca Fitri, Direktur YAPPIKA, menegaskan bahwa OMS perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. “Selama ini OMS sudah berperan menjaga demokrasi dan memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas dan rentan,” jelasnya. Namun, ia juga menyayangkan seringnya OMS didiskreditkan melalui media sosial dan dituduh berlawanan dengan pemerintah atau bahkan dianggap antek asing.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengungkapkan bahwa Indonesia sedang berada dalam situasi darurat konstitusi, yang ditandai dengan penggelembungan kekuasaan yang membatasi kebebasan sipil. “Kritik diperlukan untuk memastikan fungsi checks and balances berjalan dengan baik. Negara harus melindungi hak masyarakat sipil untuk menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah maupun sektor swasta,” ujar Usman.
Meskipun demikian, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menyatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi dan berkumpul, dan tindakan aparat selama unjuk rasa bertujuan untuk menjaga ketertiban umum.