184 Pengungsi Rohingya Kembali Terdampar di Aceh
Berita Baru, Jakarta – Ratusan pengungsi Rohingya tiba di Pantai Kuala Gigeng Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Minggu (8/1/2023) sekitar pukul 14.30 WIB.
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Joko Krisdiyanto, mengatakan pengungsi etnis Rohingya yang tiba di Aceh Besar berjumlah 184 orang.
“Hasil penghitungan bersama yang disaksikan pihak Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Pengungsi (IOM), TNI, dan instansi terkait lainnya. Jumlah mereka yang terdampar adalah 184 orang,” kata Joko dalam keterangan persnya, dikutipĀ VOA, Minggu (8/1).
Ratusan orang pengungsi etnis Rohingya itu terdiri dari 69 laki-laki, 75 perempuan dewasa, dan 40 anak-anak. Menurut Joko, saat ini petugas masih melakukan proses evakuasi ratusan orang etnis Rohingya tersebut ke pengungsian Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Sosial Aceh.
“Nantinya akan dilanjutkan penanganan oleh BPBD, imigrasi, Dinas Sosial Aceh, dan instansi terkait lainnya,” pungkas Joko.
Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftach Tjut Adek, mengungkapkan kapal yang ditumpangi para pengungsi Rohingya itu telah diketahui keberadaannya beberapa hari lalu di perbatasan Indonesia dengan India, tepatnya di Laut Andaman.
“Mereka sudah terlihat sejak tiga hari yang lalu dan telah mendekati wilayah perairan Sabang, Aceh,” ungkapnya kepada VOA.
Miftach menjelaskan, kapal yang ditumpangi oleh ratusan pengungsi Rohingya itu masih berfungsi normal. Dengan kata lain, kapal yang mengangkut ratusan pengungsi Rohingya itu diduga dengan sengaja memilih wilayah Aceh sebagai wilayah tujuan.
“Mereka sudah ada feeling mau menuju ke Aceh. (Soal kondisi) sejauh yang saya amati mereka dalam keadaan sehat,” jelas Miftach.
Sementara itu, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mencatat sejak November 2022 wilayah Aceh telah kedatangan rombongan pengungsi Rohingya sebanyak enam kali. Pemerintah pun diminta untuk memberikan perhatian khusus terhadap para pengungsi Rohignya tersebut.
“Pemerintah Indonesia harus menunjukkan perhatian khusus. Sebab terkait penanganan pengungsi luar negeri merupakan persoalan serius untuk ditangani,” katanya.
Menurut Husna, pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 terkait penanganan pengungsi. Pasalnya, Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri dinilai belum cukup komprehensif mengatasi persoalan pengungsi.
“Tindakan lainnya untuk segera melakukan tindakan cepat dan koordinatif dengan pemerintah Aceh mengenai percepatan pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN). Sehingga penanganan pengungsi Rohingya tidak terkesan dibiarkan atau ada pembiaran untuk menjadi permasalahan Aceh semata-mata,” tandasnya.